TUGAS ANALILIS NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Novel merupakan sebuah karya sastra yang tidak dapat dibaca selesai dalam
sekali duduk, karena panjangnya sebuah novel secara khusus cukup untuk
mempermasalahkan karakter, peranan sosial tokoh dan pandangan hidup tokoh dalam
perjalanan waktu. Jadi, dalam perjalanan panjang inilah yang dapat
menggambarkan perjuangan seorang tokoh dalam menghadapi kehidupannya yang
penyajiannya secara panjang lebar. Oleh karena itu tidak mengherankan jika
posisi menusia dalam masyarakat menjadi pokok permasalahan yang selalu menarik
perhatian para novelis.
Dalam analisis kali ini, penulis memilih novel yang berjudul “Perempuan
Berkalung Sorban” karya Abidah El Khalieqy. Dalam novel ini dikisahkan
perjuangan seorang perempuan yang menginginkan hak dan kemerdekaannya disamakan
dengan laki-laki. Tapi tradisi di pesantren tidak dapat membantunya. Selain itu
ia juga tidak mampu menolak permintaan orang tuanya.
Berdasarkan kajian di atas, penulis akan melakukan analisis novel
“Perempuan Berkalung Sorban” dengan
mengunakan teori Robert Stanton, yaitu dengan menganalisis unsur intrinsiknya.
Berdasarkan teori Robert Stanton unsur intrinsik atau elemen pembangun fiksi
dibagi menjadi tema,fakta cerita, dan sarana cerita. Tema adalah makna cerita,
gagasan sentral atau dasar cerita. Fakta cerita adalah, hal-hal yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi, fakta cerita meliputi:tokoh/penokohan,
latar, plot/alur. Sedangkan sarana cerita adalah hal-hal yang dimanfaatkan oleh
pengarang dalam memilih dan menata detail-detail cerita. Sarana cerita
meliputi: unsur judul, gaya bahasa, sudut pandang, nada/suasana.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimana analisis unsur intrinsik novel
“Perempuan Berkalung Sorban” menggunakan teori Robert Stanton?
1.2.2
Bagaimana analisis unsur ekstrinsik
novel “Perempuan Berkalung Sorban”?
1.2.3
Apa amanat novel “Perempuan Berkalung
Sorban”?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Analisis Unsur Intrinsik Novel “ Perempuan
Berkalung Sorban” menggunakan teori Robert Stanton
2.1.1
Tema
Tema dalam novel “Perempuan Berkalung
Sorban” adalah perjuangan perempuan yang hidup di lingkungan pesantren untuk
memperoleh hak dan kebebasan dari tradisi dan adat istiadat.
Penulis menyimpulkan tema tersebut
karena setelah membaca novel tersebut dan di analisis, novel tersebut
menceritakan tentang seorang perempuan yang bernama Annisa, yang hidup di
lingkungan pesantren dan harus mengikuti adat istiadat dan operaturan yang ada
di pesantren. Serta, sebagai anak perempuan satu-satunya, Annisa sangat
dibedakan dar kedua kakak laki-lakinya. Pembedaan itulah yang membuat Annisa
slalu ingin disamakan dengan laki-laki, misalnya derajat, hak, dan segala hal
yang berbau kebebasan. Tetapi keinginan Annisa selalu ditolak oleh ayahnya,
yang merupakan pendiri Pesantren. Bukti yang memperkuat alasan di atas terdapat
pada kutipan paragraf berikut.
“Mengisi jadwal dan kewajiban
hari-hariku unutk tetap melangkah, memerdekakan kaumku yang masih saja lemah.
Agar mereka selalu hadir dan mengalir di tengah zaman. Membawa kemudi. Panji
matahari.”
(halaman 316)
2.1.2
Fakta Cerita
2.1.2.1 Tokoh
a. Annisa
b. Lek
Khudori
c. Rizal
d. Wildan
e. Kiai
Haji Hanan Abdul Malik (Ayah Annisa)
f.
Hajjah Mutmainah (Ibu Annisa)
g. Mbak
May
h. Aisyah
i.
Samsudin
j.
Kalsum
k. Nina
l.
Mbak Maryam
Tokoh utama atau tokoh protagonis dalam
novel “Perempuan Berkalung Sorban” adalah Annisa. Karena di dalam novel tokoh
Annisa adalah tokoh yang menjadi pusat jalannya cerita di setiap alur atau
bagian cerita.
Tokoh antagonis dalam novel “Perempuan
Berkalung Sorban” adalah Samsudin. Karena dalam novel ini Samsudin selalu
menentang tokoh utama yaitu Annisa. Jadi dapat dikatakan Samsudin adalah tokoh
antagonis karena menentang jalannya cerita yang dibawa oleh tokoh protagonis.
Tokoh tritagonis dalam novel “Perempuan
Berkalung Sorban” adalah Lek Khudori. Karena dalam novel ini Lek Khudori
berperan sebagai penengah atau penyeimbang tokoh utama. Dengan kata lain Lek
Khudori adalah tokoh pendukung atau tokoh penengah dari tokoh Annisa.
Tokoh bawahan dalam novel ini ada
beberapa diantaranya: Mbak May, Kalsum,
Nina, Mbak Maryam, Ayah Annisa, Ibu Annisa, Rizal, Wildan, Aisyah dan lain
sebagainya.
2.1.2.2 Watak
Tokoh
Watak tokoh-tokoh dalam novel “perempuan
Berkalung Sorban” dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Nama
Tokoh
|
Watak
Tokoh
|
Alasan
|
Bukti
|
Annisa |
Cerdas
dan kritis
![]()
Penyayang
![]()
Keras
kepala dan berkemauan keras
Mempunyai
rasa ingin tahu yang tinggi
|
Watak
Annisa dikatakan cerdas karena Annisa selalutanggap dan kritis terhadap
kondisi dilingkungan sekitar. Selain itu dapat juga dilihat dari cara bicara
Annisa yang lantang.
Selain
cerdas Annisa juga memiliki rasa simpati yang tinggi, ia termasuk gadis
penyanyang. Karena ia selalu kasihan dan tersentuh hatinya jika melihat
makhluk ciptaan Allah yang tersakiti.
Annisa
memiliki watak keras kepala, karena ia susah dinasihati. Selain itu setiap
mempunyai keinginan annisa selalu ingin mencapai keinganannya itu dengan cara
apapun yang membuatnya merasa tertantang dan senang.
Annisa
selalu bertanya kepada siapa saja mengenai hali yang ia kurang pahamai dan mengganjal
di hatinya. Rasa keingintahuan Annisa membuatnya beda dari gadis lain. Hal
sekecil apapun slalu dipertanyakan kepada siapapun yang dianggapnya paham.
Rasa keingintahuan Annisa yang tinggi terkadang membuatnya ditertawakan oleh
orang yang ia tanyai.
|
“Aku
merenung sejenak. Kalau aku tak bisa menemukan jawabannya, dia pasti akan
mengejekku. Mencibirku sebagai anak perempuan yang bodoh.”
“benar
juga, batinku. Tapi tentu ada bedanya. Aku terdiam beberapa saat. Mencari
jawaban lain yang leboh kuat dari alasan Rizal” (halaman 2)
“kenapa
sih?kalian pikir aku ini hantu? Kok semuanya tiba-tiba diam? Pasti sedang
ngrasani aku ya?” (halaman 9)
“Jika
aku naik kuda, semua orang mendongak ke arahku jika bicara denganku. Aku juga
bisa memimpin pasukan perang seperti Aisyah atau Putri Budur, sehingga para
lelaki perkasa tunduk di belakangku,” aku tertawa geli, “dan jika aku ke
kantor , bajuku wangi dan rapi tidak seperti Lek Sumi yang seharian di dapur,
badannya bau dan bajunya kedodoran. Jika aku ke kantor semua orang melihatku
dengan hormat, tidak menutup hidung jika aku lewat seperti mereka menutup
hidung dekat lek Sumi, karena bau bawang dan trasi. Dan akhir bulan aku
mnerima gaji.” (halaman 15).
“Hentikan
kak, dia ketakutan! Aku histeris”
“Tetapi
aku kasihan, Lek Khudori juga pernah bilang, jangan ganggu yang sedang
kesulitan, bisa kuwalat.” (halaman 3)
“Iya,
memang kenapa Pak? Tidak boleh? Kak Rizal juga belajar naik kuda.”(halam 7”
“Apapun
yang terjadi aku harus bisa. Aku mesti belajar naik kuda. Naik kuda. (halaman
8)
“tetapi
aku ingin belajar naik kuda dan pergi ke kantor” (halaman 15)
“
Bapak pergi ke kantor” teriakku lantang kemudian terdiam. Aku berpikir
sejenak kemudian terdiam. Aku berpikir sejenak kemudian bertanya, “apa ke kantor
itu termasuk urusan laki-laki pak Guru?” (halaman 10)
“coba
ibu jawab, berapa jam seorang perempuan dapat menyeleseikan kewajibannya
dalam sehari. Ayo?” (halaman 13)
“Maksud
Nisa, apa bakhil dan tidak bersedekah itu baik di mata Allah? Dan mengagumi
diri sendiri itu bukankah riya? Juga penakut, apa bedanya dengan pengecut?
Bukankah sikap dermawan itu dianjurkan? Rendah hati di jalan kebenaran itu
juga terpuji? Mengapa jika perempuan, semuanya jadi terbalik?”
(halaman
75)
|
Lek
Khudori
|
Baik
dan ramah
Bijaksana
|
Lek
Khudori memiliki sikap yang ramah dan baik, karena ia selalu dapat
menenangkan annisa dan sering berbuat baik pada Annisa dan orang lain.
Lek
Khudori adalah sosok pria yang bijaksana dalam memutuskan perkara. Ia pandai
memberi penjelasan dengan cara yang arif dan bijaksana. Sehingga orang atau
Annisa khususnya yang diberi nasihat atau keputusan selalu paham dan tidak
membantah.
|
“Apa?
Nisa mau hadiah apa? Oh ya, pasti. Pasti nanti aku kasih hadiah buat Nisa.
Nisa mau hadiah apa?” (halaman 29)
“Ah
mboten mas,” Lek Khudori langsung menyahut, “ Nisa ini pintar dan sering
melucu. Jadi saya tidak tahan untuk tidak ketawa. Diam-diam dan punya bakat
melawak rupanya.” (halaman 35)
Buktinya
terdapat pada kuitipan berikut ini.
“Bertanggungjawab
kan tidak harus melakukan pekerjaab itu sendiri, Nissa. Bukankah urusan rumah
tangga itu banyak sekali, dan tangan perempuan hanya dua, kiri dan kanan.
Jika di jaman Nabi, tradisi menghadiahi budak kepada istri adalah budaya
umuma, mungkin di zaman sekarang, seorang suami harus mengahadiahi seorang
atau beberapa pekerja rumah tangga untuk istrinya, tergantung kebutuhan dan
banyaknya urusan rumah tangga. Jika seorang suami tidak mampu memberinya
pembantu rumah tangga, apa itu istilahnya PRT, maka suami harus mau turun
tanga sendiri membantu istrinya. Seperti memasak, mencuci, dan mengurus anak,
termasuk sebagian nafkah yang harus dipenuhi suami.”(halaman 175)
|
Samsudin
|
Suka
memaksakan kehendak
![]()
Pemalas
dan jorok
|
Samsudin
dikatakan bersifat suka memaksakan kehendak karena segala keinginannya harus
dipenuh tanpa peduli dengan orang yang dimintainya. Samsudin selalu
memaksakan apa yang diinginkannya kepada Annisa, tanpa peduli keadaan fisik
maupun batin Annisa yang selalu berontak.
Sifat
Samsudin yang lain adalah pemalas dan jorok. Selain kasar ia juga merupakan
laki-laki yang jorok dan pemalas. Karena ia tidak peduli dengan kebersihan
dirinya serta tidak menyadari kewajibannya.
|
Buktinya
terdapat pada penggalan paragraf berikut.
Seusai
gombal begitu, ia memaksakan lidahnya untuk dimasukkan ke mulutku, dan jika
aku menolaknya, ia mengulanginya dengan beringas dan mengirim kembali air
kotoran itu ke mulutnya. Seperti biasanya, sembari menahan rasa mual di
perut, lambungku terasa kejang dan ingin muntah. Lalu kedua kaki juga kejang,
lalu urat-urat saraf menjadi kaku seakan robot yang tak bisa dilenturkan.
Tetapi Samsudin akan memaksanya untuk menyakitiku dan menimbulkan rasa nyeri
yang tiada terkira.
(halaman
130)
Samsudin
bangun saat matahari terbit dan tanpa berkumur atau cuci muka dulu, ia
langsung menhirup kopi panas di meja baru kemudian ke kamar mandi. Sekalipun
dalam kondisi junub, ia hanya mandi biasa. Hanya kadang-kadang ia mandi
junub, atau kebetulan gatal karena banyak ketombe dan terpaksa ia
menyamponya.
(halaman
99).
|
Kiai
Haji Hanan Abdul Malik (Ayah Annisa)
|
Keras
|
Haji
Hanan Abdul Malik memiliki watak yang keras karena dalam mendidik anak
perempuannya beliau selalu menekankan kepada Annisa akan kewajiban dan hak
Annisa sebagai peremupan. Serta segala keputusannya harus dipatuhi tidak
boleh ditentang.
|
“Ow...ow...ow...jadi
begitu. Apa ibu belum mengatakan padamu kalau naik kuda hanya pantas
dipelajari oleh kakakmu Rizal, atau kakakmu Wildan. Kau tahu mengapa? Sebab
kau ini anak perempuan Nisa. Nggak pantas anak perempuan kok naik kuda,
pencilakan, apalagi keluyuran mengelilingi ladang, sampai ke blimbang segala.
Memalukan! Kau ini sudah besar masih bodoh juga, hehh!!” (halaman 7
|
Hajjah
Mutmainah (Ibu Annisa)
|
Bijaksana
|
Hajjah
Mutmainah memiliki sikap dan watak yang bijaksana karena ia selalu adil dan
tepat dalam memutuskan sebuah perkara atau keputusan.
|
“Sudah-sudah.
Sekarang mandi sana. Kau Rizal. Kau juga Nisa.”
Suara
ibu menyela sambil mendekati kami berdua, memberi keputusan yang
adil...(halaman 7)
|
Kalsum
|
Tegas,
dan yakin dalam bertindak/mengambil keputusan
|
Kalsum
adalah sosok wanita yang tegas dan yakin dalam mengambil setiap keputusan
yang dirasa bagunya itu benar, misalnya saja untuk belajar ilmu agama kepada
Nissa, padahal ia lebih tua, tapi ia yakin dan mantap memutuskan untuk
meminta Annisa mengajarinya atau menjadi gurunya.
|
Buktinya
terdapat pada kutipan berikut.
“Anis,
kau seperti adikku seeendiri. Jiiika
kau sudi, ajarilah aku tentang hukum-hukum Islam. Aku lihat kau begitu khusuk
beribadah dan terlihat sekali, kau begitu menikmati setiap amalan yang kau
kerjakan. Aku juga sering tergetar jika menatap matamu, betapa tegasnya jika
kau berbicara tentang kebenaran. Bahkan kulihat Mas Samsendiri segan padamu,
sekalipun ia tidak menyukaimu.”
(halaman
124)
“Kau
benar, Anis. Tetapi aku lebih senang lagi jika kau adalah guruku dalam hal
ini. Sebab aku telah melihat kemampuanmu dan bagaimana perilakumu selama ini.
Aku bicara apa adanya, Anis. Sama sekali tidak mengada-ada.”(halaman 124-125)
|
Mbak
May
|
Suka
memberi nasihat
|
Mbak
May adalah wanita yang sholehah dan suka memberi nasihat. Karena setiap
Annisa menyimpan beribu pertanyaan yang mengganjal hatinya Mbak May selalu menjawab pertanyaan Annisa
dan memberikan Annisa nasihat yang membuat Annisa puas dan mengerti.
|
Buktinya
terdapat pada kutipan berikut.
“Eh,
Nissa. Orang pemalas tidak perlu dicemburui. Lagi pula Nissa kan perempuan.
Perempuan itu memiliki kewajiban untuk belajar mengurusi rumah tangga. Itu
semua baik untuk masa depan Nissa.”(halaman 21)
|
Aisyah
|
Setia
kawan
![]()
Penakut
|
Walaupun
Aisyah bukan santri di pondok Annisa, tetapi dia adalah salah satu gadis di
desa Annisa. Ia juga merupakan teman Annisa yang setia dan baik, karena ia
selalu mendengar keluh kesah Annisa, dan selalu ada jika Annisa
membutuhkannya.
Di
balik sifat setia kawannya Aisyah adalah gadis yang penakut. Ini bertolak
belakang dengan annisa yang berani. Aisyah takut dalam mencoba hal yang baru
yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.
|
Buktinya
terdapat pada kutipan berikut.
“Lalu
pergi ke rumah Aisyah sahabatku yang paling akrab. Aisyah memang bukan santr
di pondok kami, tetapi Aisyah adalah salah satu diantara perempuan desa yang
sering datang ke rumahku. Seperti juga aku yang sering datang ke rumahnya.
Meskipun ia sudah kelas 1 tsanawiyah, aku tak pernah sungkan untuk
menumpahkan perasaan padanya.”(halaman 58-59)
“Enggak,
ah! Aku takut. Lagian gak punya uang. Kita kan belum tujug belas tahun, Niss?
Nanti aku bilangin sama bapak kamu, lho!”(halaman 63)
“Jangan
Niss. Aku takut melihat senyumannya, pastilah ini yang dinamakan serigala
berbulu domba. Kita pulang saja.”(halaman 67)
|
Rizal
|
Ambisius,
tergesa-gesa, kurang hati-hati
|
Rizal
adalah kakak Annisa yang memiliki sifat terhesa-gesa dan berambisi untuk
memiliki sesuatu. Karena ia selalu tergesa-gesa melakukan sesuatu dalam
mencapai hal yang diinginkannya.
|
Buktinya
terdapat pada kutipan berikut.
“Ini
kesempatan! Dia pasti sedang lemes!” Rizal ganti berteriak
“tetapi
Rizal terus merangsek. Menapakkan kakinya ke gigir tanah yang dekat dengan
air. Karena terlau bernafsu atau kurang hati-hati, ia terpeleset dan
byuurr...kecemplung blumbang.”(halaman 3)
|
wildan
|
Pendiam
![]()
Bijaksana
|
Berbeda
dengan Rizal, kakak Annisa yang satunya ini lebih pendiam, karena ia tak
banya bicara seperti Rizal.
Selain
pendiam dan pemalu, di saat tertentu Wildan adalah laki-laki yang bijaksana
karena ia tepat dalam memberi
keputusan.
|
Buktinya
terdapat pada penggalan paragraf berikut.
“Seperti
piring-piring yang berkilatan karena minyak, aku sering mencuru pandang ke
arah meja makan yang masih terlihat dari tempat cucian. Mengamati wajah-wajah
mereka yang begitu bahagia. Merdeka. Apalagi ketika tangan Rizal
mengepal-ngepal sambil bercerita, entah apa yang diceritakannya. Berbeda
dengan Wildan yang pendiam dan banyak merenung, ia hanya mengangguk dan
banyak menggerakkan tangannya yang menunjukkan tak setuju.”(halaman 9)
“kalau
aku diizinkan berpendapat, menurutku, Lek Khudori masih terlalu muda sebagai
hakam dalam masalah ini. Apa tidak lebih baik yang di utus sebagai hakam
adalah satu pihak yang minimal telah berkeluarga. Sebab dengan itu, pastilah
dia lebih tahu urusan dan permasalahan tentang keluarga. Ini pendapat saya.”
(halaman 187)
|
Nina
|
Ingin
tahu, penasaran
Suka
pilih-pilih
|
Nina
adalah perempuan yang selalu ingin tahu, karena ia ingin tahu urusan orang
lain yang dikiranya menarik. karena itu juga ia sering penasaran dengan
pertanyaan-pertanyaannya sendiri.
Berbeda
dengan Annisa, Nina adalah gadis yang suka pilih-pilih dalam memilih
laki-laki atau segala hal yang menyangkut masa depannya. Ia memiliki tipe
laki-laki idaman.
|
Buktinya
terdapat pada kutipan percakapan berikut.
“Siapa
dia Nis. Pacarmu. Tunanganmu?”
“Pasti
sang doi?”
“Tetapi
santai, ya. Siapa sih, Nis. Kenalin dong.”(halaman 206-207)
“Anehnya.”kata
Nina, ”laki-laki seperti Basuni itu yang sering muncul dalam pencarianku.
Padahal impianku tidak lebih tidak kurang, samalah dengan impianmu, Nis.”(halaman
235)
|
Mbak
Maryam
|
Kritis
dan tegas dalam berargumen
|
Mbak
Maryam sangat kritis dalam menanggapi argumen orang lain, selain itu dia juga
sangat mantap dan tegas ketika beragumen dengan orang lain agar pendapatnya
dapat diterima dan disetujui.
|
“Kupikir
Nina benar.” Kata Mbak Maryam, “Laki-laki yang demokratis dan emansipatoris
seperti suamimu, Nis, boleh dibilang langka, sekalipun menjadi idaman banyak
perempuan. Memang di sinilah masalhanya.”(halaman 235)
“Itu
benar. Bukankah penindasan dan diskriminasi terhadap perempuan itu dimulai
sejak mereka lahir? Bahkan boleh jadi sebelum mereka lahir dan diperkirakan
akan lahir.”(halaman 235)
“Banyak
sekali para bapak yang nota bane laki-laki tidak menginginkan anak perempuan.
Maka jika ternyata anak perempuan yang lahir, sikap sang abapak akan
menunjukkan sikap ketidaksukaannya, dan ini mengemuka dalam semua
perilakunya. Misalnya tidak pernah mau memandikan, tidak mau membelikan
pakaian yang layak, selalu merasa terganggu dengan tangisannya, acuh tak acuh
yerhadap seluruh yang menimpa putrinya, dan banyak sikap yang menujukkan
betapa ia menyesal dan tidak suka atas kehadiran putrinya sendiri.” (halaman236)
“Menurutku,
mungkin citra yang beredar di kalangan masyarakat luas bahwa perempuan itu
makhluk nomor dua, banyak masalah dan menyulitkan, kurang produktif dan tidak
mandiri. Lebih jauh banyak kalangan masyarakat perempuan itu kurang akalnya,
tidak mampu mengambil keputusan. Jadi dalam hal menikah misalnya, tidak perlu
ia dilibatkan dalam mengambil keputusan, kecuali kalau sudah janda.”halaman
236)
“Menurut
saya,” kata Mbak Maryam, “jika membicarakan hak dalam hal ini, keduanya punya
hak untuk berinisiatif. Yang menjadi masalah adalah, inisiatif itu kan perlu
juga ditindak lanjuti dan untuk itu perlu ada kesepakatan dengan
mempertimbangkan kondisi baik suami atau istri.” (halaman 237)
|
Lek
Umi Sa’adah
|
Penakut
|
Umi
penakut karena ia tidak berani mengemukakan pendapat atau apa yang
dirasakannya kepada suaminya.
|
“Mungkin
karena aku takut dan khawatir dengan kehamilanku, juga sebenarnya, rasa sakit
itu belum hilang betul, Nis, jadinya pun yaku menjadi kaku dan tak pernah
mengeluarkan cairan. Akhirnya yang kurasakan hanyalah sakit dan perih.”
(halaman 268)
|
2.1.2.3 Plot/Alur
a. Jenis
Alur
Alur yang digunakan dalam novel
“Perempuan berkalung Sorban” adalah alur mundur atau flashback. Karena cerita
dalam novel ini berawal ketika Annisa dan Mahbub anaknya membuka kembali buku
kenangannya di masa lalu. Setelah membuka buku itu, lalu di ceritakan kembali
kisah Annisa dari kecil dan berakhir sampai di awal ketika ia membuka buku
kenangan tersebut.
Alasan kenapa alur novel “Perempuan
Berkalung Sorban” penulis simbulkan alur mundur, karena dalam novel ini
ceritanya terjadi ketika Annisa dan anak semata wayangnya Mahbub, membuka dan
membaca buku catatan Annisa di masa lalu. Kemudian kisah kehidupan Annisa dari
masa kanak-kanak hingga dewasa diceritakan ulang. Setelah itu, novel ini di
akhiri ketika Annisa meletakkan buku catatan masa lalunya yang telah dibacanya
dengan senyuman bangga.
Bukti bahwa alur novel “Perempuan
Berkalung Sorban” alur mundur terdapat
pada kutipan berikut.
“Meski sudah berlalu, jauh di belakang
waktu, masa kanak itu banyak menyimpan cerita. Kadang mengasyikkan, tapi lebih
banyak yang menyebalkan. Dan kini setelah aku mendapatkan gelar, sudah memiliki
Mahbub, anak semata wayangku, cerita itu sering muncul seturt dengan
pengetahuan yang kudapatkan dari lembaran buku kehidupan...” (kutipan halaman
2).
“Aku tersenyum bangga. Kuletakkan buku
yang sedari tadi kubaca di sisinya. Lalu kucium dahinya dengan lembut. Selembut
embun pagi yang menetes dari langit biru. Mengisi jadwal dan kewajiban hari-hariku
unutk tetap melangkah, memerdekakan kaumku yang masih saja lemah. Agar mereka
selalu hadir dan mengalir di tengah zaman. Membawa kemudi. Panji matahari.”
(halaman 316)
b. Bagian/Tahapan
Alur
1) Tahap
Permulaan
Pada
tahap ini pengarang memperkenalkan tokoh-tokohnya, menjelaskan peristiwa itu
terjadi, memperkenalkan kemungkinan yang akan terjadi.
Pada
novel “Perempuan Berkalung Sorban” tahap permulaan ditunjukkan ketika Annisa
membuka buku kenangan masa kanaknya, lalu mulai diceritakan kembal masa kanaknya
yang dulu pernah dialaminya. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
Meski
sudah berlalu, jauh di belakang waktu, masa kanak itu banyak menyimpan cerita.
Kadang mengasyikkan, tapi lebih banyak menyebalkan. Dan kini, setelah aku
mendapatkan gelar, sudah memiliki Mahbub, anak semata wayangku, cerita itu
sering muncul seturut dengan pengetahuan yang kudapatkan dari lembaran buku
kehidupan. (halaman 2)
2) Tahap
Pertikaian
Pada
tahap ini ditunjukkan suara emosional yang semakin panas karena tokoh mulai
dilibatkan dengan konflik.
Pada
novel ini tahap pertikaian ditunjukkan ketika Annisa dijodohkan dengan
Samsudin. Ini membuat Annisa kecewa. Ia berontak dengan keputusan orang tuanya.
Bukti kutipannya adalah sebagai berikut ini.
Mendengar
kata-kata itu, darahku serasa beku. Aku tertahan dan berdiam seperti patung.
Rupanya mereka tengah merundingkan sesuatu untuk masa depanku. Alangkah jauhnya
mereka melewati nasibku. Begitu riangnya mereka menggambari masa depanku
semau-maunya. Pastilah mereka mengira, alangkah bodoh dan naifnya aku ini,
sehingga untuk menentukan nasib masa depanku sendiri, tak perlu lagi mereka
melibatkanku. (halaman 90).
3) Tahap
Perumitan
Tahap
yang menunjukkan semakin panas karena konflik semakin mendekati puncak.
Tahap
perumitan pada novel ini ditunjukkan ketika Annisa dan Samsudin sudah menikah
dan mengalami malam pertamanya dengan keterpaksaan. Buktinya dapat dilihat pada
kutipan berikut.
Masih
segar dalam ingatanku. Serasa gambar-gambar hitam yang bergerak di layar putih
pada suatu malam. Tapi ini buklan malam.
Lelaki itu duduk di atas kursi rotan sambil mengisap rokok kreteg dengan begitu
nikmatnya. Asapnya melayang-layang di udara memenuhi ruang tamu. Sesekali,
sewaktu aku datang mendekat, asap itu menabrak muka dan menyusup ke dalam rambutku.
Ia tertawa melihat reaksiku yang begitu sebal dengan gulungan ular kabut yang
keluar dari mulutnya. Malah ia sengaja menyembur-nyemburkan asap itu dari
mulutnya ke mukaku, ke leherku, juga ke arah dadaku. Dan ketika ia hendak
menyemburkan asap itu ke daerah paling sensitif, aku berdiri tepat di mukanya,
berkacak pinggang dan menuding mukanya di depan hidungnya.
“Hentikan kelakuanmu atau aku pergi dari
rumah ini?”
“Waduh, waduh! Galak amat!” ia tertawa
dan terus tertawa melecehkan.
“Kau pikir, karena kau suamiku, kau bisa
seenaknya memperlakukan aku?”
“Apa yang kau katakan Nisa? Aku hanya
ingin main-main denganmu.”
“Main-main? Permainanmu sangat
menyebalkan.”
(halaman 95-96)
4) Tahap
Puncak
Merupakan
tahapan dimana konflik telah mencapai puncak.
Tahap
puncak pada novel ini adalah ketika Samsudin selalu memaksa untuk melakukan
hubungan intim dengan Annisa tanpa mempedulikan kondisi dan keadaan Annisa. Hal
ini membuat Annisa benar-benar sudah tidak tahan lagi. Bukti dapat dilihat pada
kutipan berikut ini.
Aku
kaget dan hendak lari keluar ketika ia tiba-tiba mendekapku dengan kuat dan
menlunaskan segalanya. Nafasnya mendengus-dengus serupa lembu yang sedang
melihat rumput hijau untuk disantapnya. Ia tak peduli dan mungkin memang tak
bisa untuk melepaskan pakaianku dengan cara yang lembut. Sampai aku tak
merasakan apapun di malam pertama itu kecuali rasa sakit, nyeri dan takut.
(halaman 107)
5) Tahap
Pelereian
Pada
tahap ini konflik yang terjadi mulai berkurang dan menurun.
Tahap
pelereian dalam novel ini adalah ketika keluarga Annisa berantusias untuk
menyeleseikan perkara dan problem pernikahan Annisa dengan Samsudin. Karena di
sini permasalahan atau konflik yang dialami annisa mulai mereda. Buktinya
terdapat pada kutipan berikut ini.
Malam
itu, malam ketujuh dari cuti sekolah. Kami berbincang di ruangan tengah.
Setelah pengajian bubar, kami sekeluarga ditambah Lek Khudori
tentunya,mengadakan pertemuan khusus membahas problem pernikahanku. Meski masih
terlihat sedikit kelalahan di wajahnya, bapak memaksakan diri untuk duduk di
antara kami. Rizal dan Wildan menekur ke meja. Ibu duduk dengan tenang, dan
kulihat Lek Khudori sebentar-sebentar menengok ke arahku, bergantian kearah
bapak lalu ibu. Setelah mendehem tiga kali, bapak membuka pertemuan informal
dengan seloroh yang jarang sekali dilakukan. (halaman 181-182)
Mencairlah
sedikit ketegangan dalam hidupku. Malam itu, sekalipun udara pegunungan begitu
dingin, melihat simapti yang ditujunjukkan oleh semua yang ada di rumah, aku
mendapat kehangatan lain yang membuatku terharu dan ingin menangis. Rizal
behenti memperolokku dan Wildan memberikan yang cukup berarti untuk selseinya
masalahku. (halaman 187)
Mendengar
pengakuan yang jujur dan tulus itu, tiba-tiba rasa bersalah menyeruak dari
dasar kalbu dan ingin dihampurkannya keluar. Kuambil tangannya lalu kuciumi
dengan segenap penyesalan dan tetesan air mata. Mas khudori merengkuhku dan
mendudukkanku dalam pangkuannya. Ekspresi mukanya sama sekali tak menyiratka
rasa jengkel atau marah. Sebaliknya, kedua mata itu redup menyiratkan rasa
sayang dan perasaanku menjadi kepayang untuk bermanja-manja setelah
berhari-hari diliputi mendung yang gelap. (halaman 281)
6) Tahap
Akhir
Tahap
ini merupakan tahapan yang merupakan tahapan yang berisi ketentuan final dari
segala konflik yang disajikan.
Tahap
akhir dalam novel ini adalah ketika Annisa bercerei dengan Samsudin dan menikah
dengan Lek Khudori, lalu memiliki anak tetapi pada akhirnya Lek Khudori meninggal
dunia karena kecelakaan. Buktinya terdapat pada kutipan berikut.
Tepat
pukul sepuluh malam, setelah melalui perjuangan yang luar biasa anatara jiwa
dan janinku, bayi yang ku tunggu itu lahir dan melengking menembus kesadaranku
akan makna seoranng ibu. Aku menangis haru dan terlelap sesaat oleh rasa lelah
dan bangga atas kelahirannya. Mas Khudori memelukku dan membelai-belai kepalaku
denga tetesan air mata haru dan sayang. Ia bisikan ucapan terimakasih dan
kata-kata cinta itu berulang-ulang seakan inilah saat dimana tak ada lagi celah
bagi siapapun utnuk memisahkan kami berdua. (halaman 294)
Lalu
kutatap Mahbub daqn kubawa ia mendekati bapaknya, menjabat tangannya dan
mencium keningnya. Dingin. Saat menatap wajahnya, aku tak tahan oleh getaran
kesadaranku sendiri yang baru lahir, bahwa kami akan berpisah, seperti ketika
bapak mengusirnya dari rumah kami dahulu, seperti keetika ia akan berangkat
menuju Kairo. Tetapi keberangkatannya kali ini, akan merentang jarak
penantianku yang begitu panjang, entah kapan kami dapat bertemu kembali.
Kemudian, sekalipun berusaha ku tahan, air mataku berlinang. Namun tak satupun
kata ratapan kuucap. (halaman 313)
2.1.2.4 Latar
a. Tempat
Latar tempat yang digunakan dalam novel
“Perempuan Berkalung Sorban” dapat dilihat pada tebelberikut ini.
Tempat
|
Alasan
|
Bukti |
Pedesaan
|
Latar terjadi di pedesaan karena tokoh
banyak mengalami kejadian ditempat yang menunjukkan bahwa tempat tersebut
hanya ada di kawasan pedesaan. Selain itu juga digunakan bahasa atau kata
yang biasa digunakan di desa.
|
“Gemericik air tak henti mengalir, mengisi
kolam dan blumbang. Sungai-sungai kecil melengkungkan tubuhnya seoerti sabit
para petani yang mneunggu musim panen...” (halaman 1).
“Siapa yang mau belajar naik kuda?
Kau, bocah wedhok?”(halaman 7)
“...nggak pantas, anak perempuan naik
kuda, pencilakan, apalagi keluyuran mengelingi ladang sampai ke blumbang
segala...”(halaman 7).
|
Pondok Pesantren
|
Karena di dalam novel kisahnya terjadi
di kawasan pondok dan gaya berbicara serta permasalahan yang diangkat adalah
masalah yang bernuansa islam dan adat-adat atau tradisi yang biasa terjadi di
pondok pesantren.
|
Bukti yang mendukung terdapat pada
kutipan berikut.
“Memang, di pondok kami, Pondok
Pesantren Putri yang didirikan oleh bapakku, Kiai Haji Hanan Abdul Malik,
memliki cita-cita dan harapan untuk mendidik dan menjadikan para remaja putri
agar menjadi kaum muslimah yang berguna bagi negara dan bangsa. Meskipun
dalam praktiknya, pondok kami selalu menekankan pendidikan akhlak bagi
perempuan, khususnya akhlak perempuan dalam bermasyarakat dan berumah tangga”
(halaman 51)
Memang Mbak May pernah menjadi juara
Musabaqah Tilawatil Quran Tingkat Kabupaten untuk golongan remaja. Dan di
lingkungan pondok, Mbak May diserahi tugas melatih para santri yang tertarik
belajar tilawah. Para santri sering menyebutnya qira’ah. Membaca ayat-ayat
suci dengan lagu dan irama.
|
Jogjakarta
|
Latar tempat yang juga dominan yang di
tempati tokoh adalah di daerah Jogjakarta. Karena tokoh utama dalam novel ini
kuliah dan belajar di salah satu Universitas di Jogjakarta.
|
Buktinya terdapat pada kutipan
berikut.
“Atas dukungan ibu dan Wildan juga
atas pertimbangan bahwa kondisiku kurang baik untuk tinggal terlalu lama
tanpa aktivitas setelah menjanda, aku putuskan niatku untuk segera berangkat
ke Yogyakarta, melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Sekalipun Rizal dan
Wildan di Yogya, aku tidak mau tinggal bersama mereka. Aku ingin merasakan
kemerdekaan hidup yang mengobsesi sekian lama dalam benakku.”(halaman 202)
“karena kesibukan kuliah dan Lek
Khudori juga sangat sibuk dengan pekerjaannya, hanya memerlukan waktu tiga
hari kami di rumah. Dengan linangan air mata haru dan sedih, ibu melepasku
kembali untuk pergi ke Yogyakarta..”(halaman 215)
|
b. Waktu
Latar waktu yang digunakan dalam novel
“Perempuan Berkalung Sorban” yaitu sekitar tahun 80-an. Karena di dalam novel
tersebut menceritakan tentang perjuangan seorang wanita untuk menyamakan
kedudukan dan haknya dengan laki-laki. Selain itu alasan yang mendukung bahwa
Novel ini berlatar waktu tahun 80-an adalah
kejadian-kejadian atau kehidupan tokoh Annisa yang menggambarkan
kehidupan pengarang di era 80-an. Selain itu juga, peralatan atau alat
komunikasi yang digunakan masih berupa surat, telepon masih jarang sekali
dimiliki oleh masyarakat. Bukti yang mendukung adalah sebagai berikut ini.
Pada saat usia kandunganku mencapai lima
bulan, ibu dan bapak mengunjungi kami untuk melihat dengan mata kepala sendiri
cerita kehamilanku yang telah kukabarkan melalu surat. Terlihat ibu begitu
terharu dan gembira dan bapak mengeleng-gelengkan kepala terus menerus, seakan
tak percaya dengan semuanya. (halaman 287)
2.1.3
Sarana Cerita
2.1.3.1 Judul
Judul novel tersebut ialah Perempuan
Berkalung Sorban. Hubungan judul dengan isi novel sangat padu dan tepat. Judul
tersebut memilki unsur feminisme yang sangat kuat. Di dalam novel digambarkan
seorang perempuan yang berkalung sorban, sementara sorban pada kenyataannya
merupakan simbol seorang laki-laki atau sesuatu yang lazim digunakan oleh
laki-laki. Novel tersebut ingin mengangkat hak-hak perempuan dan tidak hanya
mengutamakan kaum laki-laki atau istilah lainnya ialah kesetaraan gender antara
laki-laki dengan perempuan.
2.1.3.2 Sudut
Pandang
Sudut pandang yang dipakai dalam novel
ini adalah sudut pandang orang pertama serba tahu. Karena dalam novel ini,
menggunakan kata “aku” untuk mendeskripsikan tokoh utama dan dengan kata “aku”
tokoh utama ini dapat mendeskripsikan tokoh lainnya. Atau dengan istilah lain
sudut pandang yang digunakan adalah sudaut pandang orang pertama atau Akuan-Sertaan.
Karena dalam novel “Perempan Berkalung Sorban” bercerita tentang kehidupan dan
permasalahan yang dialami oleh Annisa Nuhaiyyah dan ia sekaligus sebagai
pencerita tokoh lainnya yang ada di dalam novel ini.
Bukti yang menunjukkan bahwa novel
“Perempuan Berkalung Sorban” menggunakan sudut pandang orang pertama
Akuan-Sertaan terdapat hampir di semua percakapan maupun deskripsi di setiap
halaman. Misalnya pada beberapa kutipan berikut ini.
1) Aku
tak tahu apalagi menerka, kenapa bapak memberiku nama Annisa. Lengkapnya Annisa
Nuhaiyyah. Aku hanya mengerti bahwa kata itu memiliki arti perempuan yang
berakal, atau perempuan yang berpandangan luas.(halaman 51)
2) Seperti
piring-piring yang berkilatan karena minyak, aku sering mencuru pandang ke arah
meja makan yang masih terlihat dari tempat cucian. Mengamati wajah-wajah mereka
yang begitu bahagia. Merdeka. Apalagi ketika tangan Rizal mengepal-ngepal
sambil bercerita, entah apa yang diceritakannya. Berbeda dengan Wildan yang
pendiam dan banyak merenung, ia hanya mengangguk dan banyak menggerakkan
tangannya yang menunjukkan tak setuju. Bapak akan terbahak-bahak manakala Rizal
mampu membawakan cerita petualangan baru yang lucu dan seru. Tetapi begitu aku
datang di antara mereka, semuanya jadi terdiam.(halaman 9)
2.1.3.3 Gaya
Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan dalam novel
“Perempuan Berkalung Sorban” adalah gaya bahasa sehari-hari atau bahasa yang
digunakan orang keseharian. Tetapi dalam novel ini juga sedikit-sedikit
dicantumkan bahasa jawa untuk bahasa percakapannya.
Bukti penggunaan bahasa keseharian dan
sedikit bahasa jawa adalah sebagai berikut.
“Siapa yang mau belajar naik kuda? Kau,
bocah wedhok?
“Ow...ow...ow...jadi begitu. Apa ibu
belum mengatakan padamu kalau naik kuda hanya pantas dipelajari oleh kakakmu
Rizal, atau kakakmu Wildan. Kau tahu mengapa? Sebab kau ini anak perempuan
Nisa. Nggak pantas anak perempuan kok naik kuda, pencilakan, apalagi keluyuran
mengelilingi ladang, sampai ke blimbang segala. Memalukan! Kau ini sudah besar
masih bodoh juga, hehh!!” (halaman 7)
Selain menggunakan bahasa keseharian
dalam novel perempuan berkalung sorban juga menggunakan beberapa majas.
Misalnya majas,
1. Majas
personifikasi, majas personifikasi itu memiliki pengertian yaitu pengungkapan
dengan menyampaikan benda yang mati seolah-olah hidup dan memiliki sifat/sikap
seperti manusia.
Bukti yang mendukung terdapat pada
kutipan paragraf berikut.
“Di balik rimbunan perdu yang agak
tersembunyi, di antara dua pohon jati
yang selalu menengadahkan wajahnya ke langit, burung kolibri sahabatku sedang
berkicau.” (kutipan halaman 2)
Unggas dan belalang, jangkrik dan
kunang-kunang, burung perenjak dan kutilang bernya riang, mengelilingi suka
citaku dengan rebana alam. (halaman 190)
2. Majas
metafora, majas metafora memiliki pengertian yaitu pengungkapan dengan
perbandingan analogis dengan menghilangkan kata pembanding, misalnya, seperti,
layaknya, bagaikan, bak, dan lain-lain.
Bukti yang mendukung terdapat pada
kutipan berikut ini.
“Begitulah, sampai akhirnya aku berhasil
naik kuda sampai ke perbatasan desa. Lalu berhenti dan memancing ikan di
sungai. Memang tidak mendapatkan ikan, tapi
ikan-ikan kehidupan selalu kudapat dari Lek Khudori. (kutipan halaman 25)
Unggas dan belalang, jangkrik dan
kunang-kunang, burung perenjak dan kutilang bernya riang, mengelilingi suka
citaku dengan rebana alam. (halaman
190)
Memang sejak dari sono-nya sudah punya
watak karakter itu, jadi tinggal memilih waktu saja mainkan perilaku
bunglonnya. (halaman 275)
3. Majas
Sarkasme, yaitu menggunakan sindiran secara langsung dan kasar.
Buktinya
terdapat pada kutipan berikut ini,
“Persetan!
Aku tak mau dengarkan omong kosongmu. Pembohong! Semua laki-laki pembohong!
Dengan satu dan lain gaya, dasarnya semua laki-laki itu pembohong. (halaman
275)
2.1.3.4 Suasana
Latar suasana dalam novel “Perempuan
Berkalung sorban” adalah sebagai berikut.
1) Tegang
Suasana tegang sering muncul pada novel
ini misalnya ketika Annisa dan keluarganya sedang mengadakan pertemuan khusus
untuk membahas masalah yang dihadapi dalam pernikahan Annisa dan samsudin.
Buktinya terdapat pada kutipan berikut
ini.
Malam itu, malam ketujuh dari cuti
sekolah. Kami berbincang di ruangan tengah. Setelah pengajian bubar, kami
sekeluarga ditambah Lek Khudori tentunya,mengadakan pertemuan khusus membahas
problem pernikahanku. Meski masih terlihat sedikit kelalahan di wajahnya, bapak
memaksakan diri untuk duduk di antara kami. Rizal dan Wildan menekur ke meja.
Ibu duduk dengan tenang, dan kulihat Lek Khudori sebentar-sebentar menengok ke
arahku, bergantian kearah bapak lalu ibu. Setelah mendehem tiga kali, bapak
membuka pertemuan informal dengan seloroh yang jarang sekali dilakukan.
(halaman 181-182)
2) Haru
(Mengharukan)
Suasana haru terjadi ketika keluarga
Annisa menaruh simpati atas masalah pernikahan Annisa dengan Samsudin. Annisa
terharu ketika semuanya berantusias untuk menyeleseikan permasalahan itu.
Selain itu, suasana terharu juga ditunjukkan oleh Hajjah Mutmainah ketika harus
melepas anak dan memantunya kemabali ke Yogyakarta.
Bukti yang mendukung terdapat pada
kutipan berikut ini.
Mencairlah sedikit ketegangan dalam
hidupku. Malam itu, sekalipun udara pegunungan begitu dingin, melihat simapti
yang ditujunjukkan oleh semua yang ada di rumah, aku mendapat kehangatan lain
yang membuatku terharu dan ingin menangis. Rizal behenti memperolokku dan
Wildan memberikan yang cukup berarti untuk selseinya masalahku. (halaman 187)
Mendengar pengakuan yang jujur dan tulus
itu, tiba-tiba rasa bersalah menyeruak dari dasar kalbu dan ingin
dihampurkannya keluar. Kuambil tangannya lalu kuciumi dengan segenap penyesalan
dan tetesan air mata. Mas khudori merengkuhku dan mendudukkanku dalam
pangkuannya. Ekspresi mukanya sama sekali tak menyiratka rasa jengkel atau
marah. Sebaliknya, kedua mata itu redup menyiratkan rasa sayang dan perasaanku
menjadi kepayang untuk bermanja-manja setelah berhari-hari diliputi mendung
yang gelap. (halaman 281)
3) Sedih
Suasana sedih juga banyak terasa dalam
novel ini, misalnya saja ketika Annisa mandi junub setelah digauli dengan paksa
oleh suaminya, Samsudin. Annisa sangat sedih dengan kejadian itu, air matanya
menetes tanda kepedihan hatinya.
Buktinya terdapat pada kutipan berikut
ini.
Selesei
mandi junub, kuamati seluruh bagian tubuhku di muka cermin. Air mata kembali
mengalir untuk kesekian kali, kesekian puluh kali, menyumber dari kepedihan,
sejak pernikahan mengerikan itu dilaksanakan. Bersamanya tak ada sepenggal
waktu yang menyenangkan, pun selagi ia tidur. Sebab bunyi kemerosok dari
tenggorakan yang menggelembung itu membuat telingaku sakit. Dan ketika ia
menengok ke kiri atau ke kanan di antara tidurnya, setetes air liur berwarna
kekuning-kuningan meleleh di atas bantal. (halaman 98)
Hingga
seminggu sesudahnya, aku tak mampu bicara apapun kepada siapapun karena terlalu
sedih. Kesedihan dan rasa sakit telah mengunci mulutku untuk berkata pada
dunia. Saat kesabaran Samsudin untuk mendekatiku sudah habis, demam yang
bertengger di tubuhku telah memaksa seorang dokter untuk turun tangan. Dokter
mengatakan bahwa aku nervous dan butuh istirahat. Tetapi Samsudi kurang bisa
memahami kata-kata, apalagi sebuah kalimat panjang yang sederhana. Ia menjarah
masa istirahatku dan kembali dengan tuntunannya. Ia sadar betul mengenai haknya
sebagai seorang suami terhadap istrinya. (halaman 110)
Lalu
kutatap Mahbub dan ku bawa ia mendekati bapaknya, menjabat tangannya dan
mencium keningnya. Dingin. Saat menatap wajahnya, aku tak tahan oleh getar kesadaranku sendiri yang baru lahir, bahwa
kami akan berpisah, seperti ketika bapak mengusirnya dari rumah kami dahulu,
seperti ketika ia akan berangkat menuju Kairo. Tetapi keberangkatannya kali
ini, akan merentang jarak penantianku yang begitu panjang, entah kapan kami
dapat bertemu kembali. Kemudian, sekalipun
berusaha ku tahan, air mataku berlinangan. Namun tak satupun kata
ratapan kuucapkan. (halaman 313)
4) Bahagia
Suasana bahagia dirasakan ketika Annisa
hamil. Hal ini membuat Annisa dan keluarganya bahagia sekaligus terharu,
apalagi ketika ibunya mngunjunginya ketika usia kandungannya menginjak lima
bulan. Buktinya terdapat pada kutipan berikut ini.
Pada saat usia kandunganku mencapai lima
bulan, ibu dan bapak mengunjungi kami untuk melihat dengan mata kepala sendiri
cerita kehamilanku yang telah kukabarkan melalu surat. Terlihat ibu begitu
terharu dan gembira dan bapak mengeleng-gelengkan kepala terus menerus, seakan
tak percaya dengan semuanya. (halaman 287)
Tepat pukul sepuluh malam, setelah
melalui perjuangan yang luar biasa anatara jiwa dan janinku, bayi yang ku
tunggu itu lahir dan melengking menembus kesadaranku akan makna seoranng ibu.
Aku menangis haru dan terlelap sesaat oleh rasa lelah dan bangga atas
kelahirannya. Mas Khudori memelukku dan membelai-belai kepalaku denga tetesan
air mata haru dan sayang. Ia bisikan ucapan terimakasih dan kata-kata cinta itu
berulang-ulang seakan inilah saat dimana tak ada lagi celah bagi siapapun utnuk
memisahkan kami berdua. (halaman 294)
5) Emosi
Suasana emosi juga terdapat pada novel
ini, suasana emosi sering dialami oleh tokoh utama dalam novel ini, yaitu
Annisa. Misalnya pada kutipan berikut ini,
“Alaaah, sok menggurui. Apa yang perlu
aku pikirkan. Mas telah membohngiku. Tega-teganya Mas lakukan itu. Bergaya
sopan dan sok sayang, ternyata penipu juga!”
“Kau keliru, sayang. Coba dengarkan Mas
dulu...”
“Persetan! Aku tak mau dengarkan omong
kosongmu. Pembohong! Semua laki-laki pembohong! Dengan satu dan lain gaya,
dasarnya semua laki-laki itu pembohong. Memang sejak dari sono-nya sudah punya
watak karakter itu, jadi tinggal memilih waktu saja mainkan perilaku
bunglonnya. Ah! Bodohnya aku sampai terjebak dua kali,” aku menerawang, “Tetapi
tidak! Aku pasti akan bikin perhitungan!” lanjutku gemas. (halaman 274-275)
6) Takut
dan panik
Suasana takut dalam novel ini sering
dialami oleh Annisa. Tepatnya ketika Annisa berhadapan dengan Samsudin. Annisa
selalu takut ketika Samsudin mendekatinya dan hendak menggaulinya.
Buktinya terdapat pada kutipan berikut
ini.
Aku kaget dan hendak lari keluar ketika
ia tiba-tiba mendekapku dengan kuat dan menlunaskan segalanya. Nafasnya
mendengus-dengus serupa lembu yang sedang melihat rumput hijau untuk
disantapnya. Ia tak peduli dan mungkin memang tak bisa untuk melepaskan
pakaianku dengan cara yang lembut. Sampai aku tak merasakan apapun di malam
pertama itu kecuali rasa sakit, nyeri dan takut. (halaman 107)
Tetapi apa lacur. Samsudin memburu
sampai alam impian. Ia berlari mengejarku dengan mata bersinar-sinar kemerahan
seakan mata jin ganas berusaha meraihku dengan kelebat sinarnya dan
berputar-putar di lapangan terbuka mnegatur strategi untuk meluputkan diri dari
pemburu dan mencengkram lawan dengan berbagai tipuan. Napas kami ngos-ngosan
sesaat aku lengah sedetik, tangan yang besae dengan kuku yang memanjang seakan
panah beracun siap membidikku dari jarak senti. Aku terpekik kaget kemudian
hendak melarikan diri, tetapi sebuah kekuatan membebani tubuhku dan menahannya
untuk tetap diam. Kubaca semua doa yang mampu. Tetapi makhluk mengerikan itu
tetap mendekatiku dan berusaha meraihku, lalu akan histeris mengerahkan seluruh
tenaga untuk bangu dengan napas terengah-engah dan keringat meleleh di seputar
leherku.
“Nisa! Nisa! Bangun, Nisa!” Mas Khudori
panik.
“Mas, Mas! Samsudin!” aku tergagap tak
kalah paniknya.
“Ada apa, sayang...ada apa dengan
Samsudin. Kau bermimpi?”
“sepertinya ia telah jadi hantu. Matanya
bersinar-sinar kemerahan.”
“Kau tidak mengigau, kan?”
“Oh! Ia mengejarku dalam mimpi rupanya.
Alangkah mengerikan jika semua itu adalah kenyataan.”
(halaman 254-255)
7) Gugup
Suasana gugup terlihat ketika Samsuudin
ketemu dengan Lek Khudori. Buktinya terdapat pada percakapan berikuti ini.
“Apa kabar, Din? Lama nggak kelihatan,”
Mas Khudori menyapanya, datar saja. Samsudin blingsatan.
“O...baik. Kau sendiri?”
“Alhamdulillah! Seperti yang kau lihat.
Ini anakmu?” mas Khudori menengok Fadhilah. Buru-buru Mbak Kalsum yang
menjawab, “Benar, namanya Fadhilah. Ayo ucapkan salam pada paman.” (halaman
301)
8) Cemburu
Suasana cemburu ini terasa ketika Annisa
mendapat kabar bahwa Lek Khudori sudah pernah menikah di Berlin dan sudah
memiliki anak.ini membuat annisa cemburu sekaligus kesal dan tak menyangka.
Buktinya terdapat pada kutipan berikut
ini.
Siang itu ia sedang membacakan khotbah
jumat di masjid. Begitu ia datang, aku tak tahan untuk menyeretnya ke meja
makan dan menyerangnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya gelagapan.
“Apa yang kau katakan, Nisa?”
“Itu...yang dikatakan Aisyah. Ia bilang,
katanya Mas sudah punya anak satu. Pantas saja jika menyebut namanya mata Mas
begitu mesra. Rupanya pernah ada pertalian batin, ya?”
“Nisa. Cobalah berfikir yang jernih dan
belajarlah jadi perempuan yang lapang dada dan dewasa. Coba Nisa pikir.”
(halaman 274)
9) Lega
Suasana lega terjadi pada tokoh Annisa
ketika ia terbebas dari suaminya, Samsudin. Annisa merasakan kelegaan dalam
hidupnya ketika ia bercerei dari Samsudin dan akhirnya memutuskan untuk
menerima lamaran Lek Khudori.
Buktinya terdapat pada kutipan berikut
ini.
Beginilah akhir dan sekaligus awal dari
perjalanan takdir yang mest ku pilih. Sebab takdir kehidupan bukanlah satu,
tapi banyak, dan hanya manusia yang diberi akal untuk memilih di antaranya.
Maka ketika percereian itu berlangsung
dengan tenang, ku tatap langit di atasku dengan seluruh hamburan cahaya
bintan-bintang. Bunga bermekaran mengirim wangi merasuk sanubari, mengangkatku
jauh melayang ringan menjemput purnama dan gemerlap udara kebebasan. Unggas dan
belalang, jangkrik dan kunang-kunang, burung perenjak dan kutilang bernya
riang, mengelilingi suka citaku dengan rebana alam. (halaman 190)
Terangkatlah seluruh beban yang
berton-ton beratnya dari punggung kehidupanku. Denga pernikahanku yang kedua
kali ini, saat usiaku sedang menginjak lebih dewasa, kuhirup kembali
kemerdekaan yang ketiga dalam kehidupanku. Yang pertama adalah kemerdekaan saat
aku masih kanak-kanak, kemudian yang kedua, saat aku terbebas dari kerangkeng
besi penjara Samsudin, dan yang ketiga, saat aku menikah dengan Lek Khudori.
Kukatakan pernikahan ini merupakan masa kemerdekaan hidup yang ketiga, sebab
dengan menikah, status janda yang rawan gunjingan itu telah lenyap dari hidupku
dan kini kebanggan lain telah mengisi hari-hariku. (halaman 215)
Ketika hendak pulang, kulihat raut muka
bapak begitu ceria dan lega, tanpa bisa ditutupi memuji-muji Mas Khudori
sebagai menantu yang penuh perhatian, sabar dan santun pada mertua. Ibu Cuma
mengedipkan mata padaku tanda melecehkan penilaian bapak yang selalu
kedaluwarsa. (halaman 289)
10) Kesal
Suasana kesal juga banyak terjadi dalam
novel ini, misalnya saja ketika suatu malam Annisa dan Samsudin berada di
rumah. Annisa kesal dengan Samsudin yang bermain-main dengan asap rokok.
Samsudin dengan sengaja menyembur-nyemburkan asap rokok ke tubu Annisa,
sehingga Annisa sangat kesal dengan Samsudin.
Buktinya terdapat pada kutipan berikut
ini.
Masih segar dalam ingatanku. Serasa
gambar-gambar hitam yang bergerak di layar putih pada suatu malam. Tapi ini
bukan malam. Lalaki itu duduk di atas kursi rotan sambil mengisap rokok kretek
dengan begitu nikmatnya. Asapnya melayang-layang di udara memenuhi ruang tamu. Sesekali,
sewaktu aku datang mendekat, asap itu menabrak muka dan menyusup ke dalam
rambutku. Ia tertawa melihat reaksiku yang begitu sebal dengan gulungan ular
kabut yang keluar dari mulutnya. Malah ia sengaja menyembur-nyemburkan asap itu
dari mulutnya ke mukaku, ke leherku, juga ke arah dadaku. Dan ketika ia hendak
menyemburkan asap itu ke daerah paling sensitif, aku berdiri tepat di mukanya,
berkacak pinggang dan menuding mukanya di depan hidungnya.
“Hentikan kelakuanmu atau aku pergi dari
rumah ini?”
“Waduh, waduh! Galak amat!” ia tertawa
dan terus tertawa melecehkan.
“Kau pikir, karena kau suamiku, kau bisa
seenaknya memperlakukan aku?”
“Apa yang kau katakan Nisa? Aku hanya
ingin main-main denganmu.”
“Main-main? Permainanmu sangat
menyebalkan.”
(halaman 95-96)
2.2 Unsur Ekstrinsik yang berpengaruh pada Novel ‘
perempuan Berkalung Sorban”
2.2.1
Biografi Pengarang
Abidah El Khalieqy lahir di Jombang, Jawa Timur. Setamat Madrasah
Ibtidaiyah, melanjutkan sekolah di Pesantren Putri Modern PERSIS, Bangil,
Pasuruan. Di Pesantren ini ia menulis puisi dan cerpen dengan nama Idasmara
Prameswari, Ida Arek Ronopati, atau Ida Bani Kadir. Memperoleh ijazah persamaan
dari Madrasah Aliyah Muhammadiyah Klaten, dan menjadi juara penulis puisi
Remaja Se-Jawa Tengah (1984). Alumni Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga ini
menulis tesis – Komuditas Nilai Fisik Perempuan dalam Persfektif Hukum Islam
(1989). Pernah aktif dalam Forum Pengadilan Puisi Yogyakarta (1987-1988),
Kelompok Diskusi Perempuan Internasional (KDPI) Yogyakarta, 1988-1989. Menjadi
peserta dalam pertemuan APWLD (Asia Pasific Forum on Women, Law And
Development, 1988).
Karya-karya penyair dan novelis yang bertinggal di kota budaya ini, telah
dipublikasikan di berbagai media masa lokal maupun nasional, diantaranya The
Jakarta Post, Jurnal Ulumul Quran, Majalah Horizon, Republika, Media Indonesia,
Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Jawa Post, dan lain-lain. Serta dimaktubkan
dalam berbagai buku antologi sastra, seperti: Kitab Sastra Indonesia, Angkatan
Sastra 2000, Wanita Pengarang Indonesia, ASEANO: An Antologi of Poems
Shoustheast Asia, Album Cyber Indonesia (Australia), Selendang Pelangi
(antologi perempuan penyair Indonesia), Para Pembisik, Dokumen Jibril, Nyanyian
Cinta dan lain-lain, juga dalam beberapa antologi sastra Festival Kesenian
Yogyakarta; Sembilu Pagelaran, Embun Tajjali dan Ambang. Membacakan
karya-karyanya di Taman Ismail Marzuki (1994 dan 2000). Mewakili Indonesia
dalam ASEAN Writers Conferenc/Workshop Poetry di Manila, Philipina
(1995). Menjadi pendamping dalam Bengkel Kerja Penulisan Kreatif MASTERA
(Majlis Sastra Asia Tenggara, 1997). Membacakan puisi-puisinya di sekretariat
ASEAN (1998), Konferensi Perempuan Islam Se Asia-Fasifik dan Timur Tengah
(1999). Mendapat Penghargaan Seni dari Pemerintah DIY (1998). Mengikuti
Program SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya) di berbagai SMU di kota besar
Indonesia (2000-2005). Menjadi pemenang dalam Lomba Penulisan Novel Dewan
Kesenian Jakarta (2003). Dinobatkan sebagai salah satu tokoh muda “Anak Zaman
Menerobos Batas” versi Majalah Syir’ah (2004). Menjadi pemakalah dalam
Pertemuan Sastrawan Melayu-Nusantara (2005). Dialog tentang Sastra,
Agama dan Perempuan, bersama Camillia Gibs, di Kedutaan Kanada (2007).
Membacakan karyanya dalam Internasional Literary Biennale (2007). Bukunya yang
sudah terbit; Ibuku Laut Berkobar (1987), Menari di Atas Gunting (2001),
Atas Singgasana (2002) Genijora (2004), Mahabbah Rindu (2007), dan Nirzona
(2008). Serta antologi cerpen dalam bentuk draft; Jalan Ke Sorga (2007) dan The
Heavens Gulf (2008).
Hubungan biografi pengarang dengan novel “Perempuan Berkalung Sorban”
sangat berkaitan. Di dalam novel diceritakan Annisa adalah seorang santri di
pesantren yang didiran oleh ayahnya. Lalu ia juga melanjutkan kuliah di
Jogjakarta. Jika dihubungkan dengan pengarang, maka terlihat jelas bahwa sangat
berhubungan, karena Pengarang juga merupakan santri lulusan Pondok Pesantren,
ia juga merupakan mahasiswa lulusan fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga,
Jogjakarta. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan pengarang berpengaruh terhadap
novel yang dibuatnya.
2.2.2
Kehidupan Sosial budaya
Kehidupan Sosial Pengarang Novel
Perempuan Berkalung Sorban.
Abidah El Khalieqy tidak hanya dikenal
sebagai penyair, tapi juga novelis yang produktif. Lima novel telah ditulisnya, selain buku
kumpulan puisi dan kumpulan cerita pendek. Salah satu novelnya, Geni Jora,
memenangi Lomba Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta 2004. Perempuan
kelahiran Jombang, 1 Maret 1965, yang mulai menulis sejak usia 12 tahun ini
pernah memperoleh penghargaan seni dari Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (1998). Tahun lalu ia menerima Ikapi dan Balai Bahasa Award.
Melalui karya-karyanya, istri penyair
Hamdy Salad ini menyuarakan persoalan perempuan. "Dalam benak saya,
perempuan di Indonesia masih termarginalkan. Jadi, menurut saya, kondisi
perempuan sudah sangat parah," ujar ibu tiga anak ini.
Namanya melambung setelah novelnya,
Perempuan Berkalung Sorban (2001), diangkat ke layar lebar oleh sutradara
Hanung Bramantyo. Apalagi setelah film tersebut menuai kontroversi. Beberapa
adegan di film Perempuan Berkalung Sorban (PBS) dianggap melecehkan pesantren
dan kiai. Namun perempuan yang pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren
Putri Modern Persis, Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, dan IAIN Kalijaga,
Yogyakarta, ini berpendapat lain. Hal
itu justru menunjukkan kecintaannya
terhadap kiai dan pesantren dengan mengetengahkan kritikan konstruktif.
Perempuan Berkalung Sorban pada awalnya
merupakan ide YKF (Yayasan Kesejahteraan Fatayat), LSM milik Nahdlatul Ulama
Yogyakarta, untuk membuat suatu novel tentang pemberdayaan perempuan. Novel ini
bertujuan mensosialisasi hak-hak reproduksi perempuan yang sudah diratifikasi
oleh PBB. Penulis diminta mengadakan riset tentang hak-hak reproduksi perempuan
selama hampir dua tahun. Riset lapangan untuk memberi setting tempat dan yang
fisik-fisik selama tiga bulan, di Kaliangkrik, Kajoran, Magelang, Jawa Tengah.
Di satu kampung ada banyak pesantren salaf. Lokasinya di pegunungan. Di situ
abidah juga menemukan orang-orang yang naik kuda. Untuk mempertegas karangannya Abidah
mengikuti seminar-seminar yang dilakukan oleh YKF selama hampir dua tahun,
kemudian ia menulis selama sembilan bulan.
Proyek penulisan Novel Berkalung Sorban dibiayai oleh YKF dan Ford
Foundation, sebuah LSM yang bermarkas di New York. Ford Foundation mempunyai
motto, “Working with Visionaries on the Frontlines of Social Change
Worldwide.” YKF dan Ford Foundation
telah sering bekerjasama dalam penerbitan buku atau novel, antara lain,
“Pesantren Mengkritisi KB dan Aborsi”, ” Menghapus Perkawinan Anank, Menolak
Ijhar”, “Menolak Mut’ah dan Sirri, Memberdayakan Perempuan”, “Menghapus
Poligami, Mewujudkan Keadilan”,
“HIV/AIDS: Pesentren Bilang Bukan Kutukan”, dan “Ketika Pesantren
Membincang Jender.”
Awal-awal kuliah, Abidah aktif di HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam) namun tidak tertarik masalah politik. Ketika itu, isu tentang
feminisme yang ditulis dalam novel seperti Perempuan di Titik Nol karya Nawal
El Sadawi dibahas di mana-mana. Ia juga mulai tertarik untuk membahas persoalan
perempuan. Dalam pandangan Abidah, perempuan di Indonesia masih termarginalkan.
Kondisi perempuan sudah sangat parah. Ia sependapat bahwa harus dicari akar
permasalahannya dan disuarakan sekeras-kerasnya. Artinya, harus ada revolusi
pemikiran bahwa ini adalah sesuatu yang sangat mendesak. Selama ini soal
perempuan memang sudah banyak ditulis, soal penderitaan mereka dan
keterpinggiran mereka. Tetapi bagaimana solusi ke depan untuk menyikapi kondisi
seperti ini belum ditulis. Itulah yang melatarbelakangi kenapa Abidah bersedia
menulis Perempuan Berkalung Sorban. Ia ingin perempuan memiliki kemandirian,
perempuan harus menguasai ilmu. Ilmu pengetahuanlah yang akan menjawab nasib
perempuan. Derajat ditentukan dengan ilmu.
Novel Perempuan Berkalung Sorban untuk
pertama kali diterbitkan oleh Ford Foundation. Selanjutanya terbitan ke-2
hingga ke-8 Arti Bumi Intaran.
2.3 Amanat novel “ Perempuan Berkalung Sorban”
Amanat yang terkandung dalam novel “
Perempuan Berkalung Surban” adalah sebagai berikut.
1) Bahwa
kita sebagai perempuan harus memliki prinsip hidup yang tegas dan jelas.
Sehingga kita tidak gampang dibodohi oleh orang.
2) Kita
juga harus memiliki tekad dan tujuan hidup yang kuat, sehingga kita dapat
menjalani cobaan hidup dengan penuh kesabaran dan pantang menyerah.
3) Kita
sebagai perempuan harus mampu menegakkan hak kita sebagaimana mestinya.
4) Untuk
mencapai tujuan yang kita inginkan, kita harus bekerja keras dan
sungguh-sungguh agar semua yang kita inginkan dapat tercapai sesuai dengan
harapan.
BAB
III
PENUTUP
SIMPULAN
Setelah membaca novel yang berjudul “
Perempuan Berkalung Sorban” penulis dapat menyimpulkan bahwa tokoh Annisa
adalah seorang perempuan yang memiliki tekad yang kuat untuk membebaskan diri
dari adat dan tradisi pesantren serta berkeiinginan memerdekakan kaumnya agar
tidak selalu dianggap rendah oleh lelaki. Atau lebih tepatnya lagi di dalam
novel tersebut, tokoh Annisa menuntut untuk kesetaraan gender, kesamaan antara
hak antara laki-laki dan perempuan. Dapat disimpulkan juga bahwa pengarang
sangat membela untuk menyamakan derajat atau gender antara perempuan dengan
laki-laki.
SARAN
Hendaknya dengan membaca makalah ini,
pembaca dapat meningkatkan minat bacanya terhadap novel dan dapat menganalisis
unsur intrinsik dan ekstrinsiknya dengan menggunakan teori Robert Stanton
karena lebih mudah dan efektif.
LAMPIRAN
SINOPSIS
NOVEL “PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN”
Annisa adalah anak bungsu dari tiga bersaudara.
Kedua saudaranya laki-laki. Sejak Annisa duduk dibangku SD tepatnya kelas 5 SD,
ia sudah mulai jatuh cinta, anehnya ia mencintai Leknya sendiri, yaitu Lek
Khodori. Annisa menyukai Lek Khudori karena sifatnya yang tulus dan selalu
membela Annisa. Lek Khudori lah yang dengan sabar mengajarinya berkuda. Dengan
tenang dan penuh perasaan Lek Khudori mengajari Annisa. Samapi tiba waktunya
Lek Khudori harus pergi menuntut ilmu ke Kairo. Saat itulah perasaan Annisa hancur.
Setelah beranjak dewasa, Annisa dijodohkan dengan Samsudin anak teman ayahnya
Annisa. Dengan terpaksa Annisa menyetujui dan menikah dengan Samsudin.
Pernikahan Annisa sangat menyedihkan, perilaku Samsudin tidak mencerminkan
bahwa ia anak seorang Kyai. Hari-hari Annisa begitu berat dan menyiksanya.
Pernikahan Annisa dengan Samsudin bertahan sampai 4 tahun. Hingga akhirnya Lek
Khudori pulang dari Kairo, Annisa pun mencurahkan segala keluh kesahnya kepada
Lek Khudori. Kedekatan Annisa dengan Lek Khudori semakin lengket setelah Annisa
resmi bercerai dengan Samsudin. Kedekatan Annisa dengan Lek Khudori menjadi
fitanh bagi keluarga Annisa. Dengan terpaksa Lek Khudori pergi dari rumah
Annisa. Dan Annisa memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Yogyakarta. Ketika
Annisa kuliah di Yogyakarta ternyata Lek Khudori selalu mengawasi Annisa,
karena ia bekerja sebagai dosen dan tinggal di Yogyakarta juga. Akhirnya Lek
Khudori datang melamar Annisa. Pernikahan Khudori dan Annisapun berlangsung.
Semua turut bahagia dengan pernikahan itu. Pernikahan annisa dengan Khudori
dikarunia satu orang anak. Pernikahan Annisa dengan Khudori tidak berjalan
mulus, karena Samsudin terus-terusan meneror Annisa dan Khudori. Tapi hal itu
tidak menggoyahkan cinta Khudori dengan Annisa. Sampai pada akhirnya Annisa
harus rela melepaskan Khudori untuk selamanya karena Khudori meninggal dunia
karena kecelakaan.
Komentar
Posting Komentar