TUGAS ANALILIS NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN




BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah

Novel merupakan sebuah karya sastra yang tidak dapat dibaca selesai dalam sekali duduk, karena panjangnya sebuah novel secara khusus cukup untuk mempermasalahkan karakter, peranan sosial tokoh dan pandangan hidup tokoh dalam perjalanan waktu. Jadi, dalam perjalanan panjang inilah yang dapat menggambarkan perjuangan seorang tokoh dalam menghadapi kehidupannya yang penyajiannya secara panjang lebar. Oleh karena itu tidak mengherankan jika posisi menusia dalam masyarakat menjadi pokok permasalahan yang selalu menarik perhatian para novelis.

Dalam analisis kali ini, penulis memilih novel yang berjudul “Perempuan Berkalung Sorban” karya Abidah El Khalieqy. Dalam novel ini dikisahkan perjuangan seorang perempuan yang menginginkan hak dan kemerdekaannya disamakan dengan laki-laki. Tapi tradisi di pesantren tidak dapat membantunya. Selain itu ia juga tidak mampu menolak permintaan orang tuanya.

Berdasarkan kajian di atas, penulis akan melakukan analisis novel “Perempuan Berkalung  Sorban” dengan mengunakan teori Robert Stanton, yaitu dengan menganalisis unsur intrinsiknya. Berdasarkan teori Robert Stanton unsur intrinsik atau elemen pembangun fiksi dibagi menjadi tema,fakta cerita, dan sarana cerita. Tema adalah makna cerita, gagasan sentral atau dasar cerita. Fakta cerita adalah, hal-hal yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi, fakta cerita meliputi:tokoh/penokohan, latar, plot/alur. Sedangkan sarana cerita adalah hal-hal yang dimanfaatkan oleh pengarang dalam memilih dan menata detail-detail cerita. Sarana cerita meliputi: unsur judul, gaya bahasa, sudut pandang, nada/suasana.



1.2  Rumusan Masalah

1.2.1        Bagaimana analisis unsur intrinsik novel “Perempuan Berkalung Sorban” menggunakan teori Robert Stanton?
1.2.2        Bagaimana analisis unsur ekstrinsik novel “Perempuan Berkalung Sorban”?
1.2.3        Apa amanat novel “Perempuan Berkalung Sorban”?



















BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Analisis Unsur Intrinsik Novel “ Perempuan Berkalung Sorban” menggunakan teori Robert Stanton

2.1.1        Tema

Tema dalam novel “Perempuan Berkalung Sorban” adalah perjuangan perempuan yang hidup di lingkungan pesantren untuk memperoleh hak dan kebebasan dari tradisi dan adat istiadat.
Penulis menyimpulkan tema tersebut karena setelah membaca novel tersebut dan di analisis, novel tersebut menceritakan tentang seorang perempuan yang bernama Annisa, yang hidup di lingkungan pesantren dan harus mengikuti adat istiadat dan operaturan yang ada di pesantren. Serta, sebagai anak perempuan satu-satunya, Annisa sangat dibedakan dar kedua kakak laki-lakinya. Pembedaan itulah yang membuat Annisa slalu ingin disamakan dengan laki-laki, misalnya derajat, hak, dan segala hal yang berbau kebebasan. Tetapi keinginan Annisa selalu ditolak oleh ayahnya, yang merupakan pendiri Pesantren. Bukti yang memperkuat alasan di atas terdapat pada kutipan paragraf berikut.
“Mengisi jadwal dan kewajiban hari-hariku unutk tetap melangkah, memerdekakan kaumku yang masih saja lemah. Agar mereka selalu hadir dan mengalir di tengah zaman. Membawa kemudi. Panji matahari.” 
(halaman 316)


2.1.2        Fakta Cerita
2.1.2.1  Tokoh
a.       Annisa
b.      Lek Khudori
c.       Rizal
d.      Wildan
e.       Kiai Haji Hanan Abdul Malik (Ayah Annisa)
f.        Hajjah Mutmainah (Ibu Annisa)
g.       Mbak May
h.       Aisyah
i.         Samsudin
j.        Kalsum
k.      Nina
l.         Mbak Maryam

Tokoh utama atau tokoh protagonis dalam novel “Perempuan Berkalung Sorban” adalah Annisa. Karena di dalam novel tokoh Annisa adalah tokoh yang menjadi pusat jalannya cerita di setiap alur atau bagian cerita.
Tokoh antagonis dalam novel “Perempuan Berkalung Sorban” adalah Samsudin. Karena dalam novel ini Samsudin selalu menentang tokoh utama yaitu Annisa. Jadi dapat dikatakan Samsudin adalah tokoh antagonis karena menentang jalannya cerita yang dibawa oleh tokoh protagonis.

Tokoh tritagonis dalam novel “Perempuan Berkalung Sorban” adalah Lek Khudori. Karena dalam novel ini Lek Khudori berperan sebagai penengah atau penyeimbang tokoh utama. Dengan kata lain Lek Khudori adalah tokoh pendukung atau tokoh penengah dari tokoh Annisa.
Tokoh bawahan dalam novel ini ada beberapa diantaranya:  Mbak May, Kalsum, Nina, Mbak Maryam, Ayah Annisa, Ibu Annisa, Rizal, Wildan, Aisyah dan lain sebagainya.


2.1.2.2  Watak Tokoh
Watak tokoh-tokoh dalam novel “perempuan Berkalung Sorban” dapat dilihat pada tabel berikut ini.


Nama Tokoh



Watak Tokoh


Alasan


Bukti


Annisa




Cerdas dan kritis
































































 


Penyayang














 


Keras kepala dan berkemauan keras






















Mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi


Watak Annisa dikatakan cerdas karena Annisa selalutanggap dan kritis terhadap kondisi dilingkungan sekitar. Selain itu dapat juga dilihat dari cara bicara Annisa yang lantang.


























































Selain cerdas Annisa juga memiliki rasa simpati yang tinggi, ia termasuk gadis penyanyang. Karena ia selalu kasihan dan tersentuh hatinya jika melihat makhluk ciptaan Allah yang tersakiti.







Annisa memiliki watak keras kepala, karena ia susah dinasihati. Selain itu setiap mempunyai keinginan annisa selalu ingin mencapai keinganannya itu dengan cara apapun yang membuatnya merasa tertantang dan senang.












Annisa selalu bertanya kepada siapa saja mengenai hali yang ia kurang pahamai dan mengganjal di hatinya. Rasa keingintahuan Annisa membuatnya beda dari gadis lain. Hal sekecil apapun slalu dipertanyakan kepada siapapun yang dianggapnya paham. Rasa keingintahuan Annisa yang tinggi terkadang membuatnya ditertawakan oleh orang yang ia tanyai.



“Aku merenung sejenak. Kalau aku tak bisa menemukan jawabannya, dia pasti akan mengejekku. Mencibirku sebagai anak perempuan yang bodoh.”
“benar juga, batinku. Tapi tentu ada bedanya. Aku terdiam beberapa saat. Mencari jawaban lain yang leboh kuat dari alasan Rizal” (halaman 2)


“kenapa sih?kalian pikir aku ini hantu? Kok semuanya tiba-tiba diam? Pasti sedang ngrasani aku ya?” (halaman 9)


“Jika aku naik kuda, semua orang mendongak ke arahku jika bicara denganku. Aku juga bisa memimpin pasukan perang seperti Aisyah atau Putri Budur, sehingga para lelaki perkasa tunduk di belakangku,” aku tertawa geli, “dan jika aku ke kantor , bajuku wangi dan rapi tidak seperti Lek Sumi yang seharian di dapur, badannya bau dan bajunya kedodoran. Jika aku ke kantor semua orang melihatku dengan hormat, tidak menutup hidung jika aku lewat seperti mereka menutup hidung dekat lek Sumi, karena bau bawang dan trasi. Dan akhir bulan aku mnerima gaji.” (halaman 15).




“Hentikan kak, dia ketakutan! Aku histeris”

“Tetapi aku kasihan, Lek Khudori juga pernah bilang, jangan ganggu yang sedang kesulitan, bisa kuwalat.” (halaman 3)





“Iya, memang kenapa Pak? Tidak boleh? Kak Rizal juga belajar naik kuda.”(halam 7”
“Apapun yang terjadi aku harus bisa. Aku mesti belajar naik kuda. Naik kuda. (halaman 8)


“tetapi aku ingin belajar naik kuda dan pergi ke kantor” (halaman 15)






“ Bapak pergi ke kantor” teriakku lantang kemudian terdiam. Aku berpikir sejenak kemudian terdiam. Aku berpikir sejenak kemudian bertanya, “apa ke kantor itu termasuk urusan laki-laki pak Guru?” (halaman 10)


“coba ibu jawab, berapa jam seorang perempuan dapat menyeleseikan kewajibannya dalam sehari. Ayo?” (halaman 13)


“Maksud Nisa, apa bakhil dan tidak bersedekah itu baik di mata Allah? Dan mengagumi diri sendiri itu bukankah riya? Juga penakut, apa bedanya dengan pengecut? Bukankah sikap dermawan itu dianjurkan? Rendah hati di jalan kebenaran itu juga terpuji? Mengapa jika perempuan, semuanya jadi terbalik?”
(halaman 75)



Lek Khudori

Baik dan ramah
























Bijaksana

Lek Khudori memiliki sikap yang ramah dan baik, karena ia selalu dapat menenangkan annisa dan sering berbuat baik pada Annisa dan orang lain.

















Lek Khudori adalah sosok pria yang bijaksana dalam memutuskan perkara. Ia pandai memberi penjelasan dengan cara yang arif dan bijaksana. Sehingga orang atau Annisa khususnya yang diberi nasihat atau keputusan selalu paham dan tidak membantah.

“Apa? Nisa mau hadiah apa? Oh ya, pasti. Pasti nanti aku kasih hadiah buat Nisa. Nisa mau hadiah apa?” (halaman 29)



“Ah mboten mas,” Lek Khudori langsung menyahut, “ Nisa ini pintar dan sering melucu. Jadi saya tidak tahan untuk tidak ketawa. Diam-diam dan punya bakat melawak rupanya.” (halaman 35)




Buktinya terdapat pada kuitipan berikut ini.
“Bertanggungjawab kan tidak harus melakukan pekerjaab itu sendiri, Nissa. Bukankah urusan rumah tangga itu banyak sekali, dan tangan perempuan hanya dua, kiri dan kanan. Jika di jaman Nabi, tradisi menghadiahi budak kepada istri adalah budaya umuma, mungkin di zaman sekarang, seorang suami harus mengahadiahi seorang atau beberapa pekerja rumah tangga untuk istrinya, tergantung kebutuhan dan banyaknya urusan rumah tangga. Jika seorang suami tidak mampu memberinya pembantu rumah tangga, apa itu istilahnya PRT, maka suami harus mau turun tanga sendiri membantu istrinya. Seperti memasak, mencuci, dan mengurus anak, termasuk sebagian nafkah yang harus dipenuhi suami.”(halaman 175)




Samsudin


Suka memaksakan kehendak



































 


Pemalas dan jorok


Samsudin dikatakan bersifat suka memaksakan kehendak karena segala keinginannya harus dipenuh tanpa peduli dengan orang yang dimintainya. Samsudin selalu memaksakan apa yang diinginkannya kepada Annisa, tanpa peduli keadaan fisik maupun batin Annisa yang selalu berontak.
























Sifat Samsudin yang lain adalah pemalas dan jorok. Selain kasar ia juga merupakan laki-laki yang jorok dan pemalas. Karena ia tidak peduli dengan kebersihan dirinya serta tidak menyadari kewajibannya.



Buktinya terdapat pada penggalan paragraf berikut.
Seusai gombal begitu, ia memaksakan lidahnya untuk dimasukkan ke mulutku, dan jika aku menolaknya, ia mengulanginya dengan beringas dan mengirim kembali air kotoran itu ke mulutnya. Seperti biasanya, sembari menahan rasa mual di perut, lambungku terasa kejang dan ingin muntah. Lalu kedua kaki juga kejang, lalu urat-urat saraf menjadi kaku seakan robot yang tak bisa dilenturkan. Tetapi Samsudin akan memaksanya untuk menyakitiku dan menimbulkan rasa nyeri yang tiada terkira.
(halaman 130)





Samsudin bangun saat matahari terbit dan tanpa berkumur atau cuci muka dulu, ia langsung menhirup kopi panas di meja baru kemudian ke kamar mandi. Sekalipun dalam kondisi junub, ia hanya mandi biasa. Hanya kadang-kadang ia mandi junub, atau kebetulan gatal karena banyak ketombe dan terpaksa ia menyamponya.
(halaman 99).



Kiai Haji Hanan Abdul Malik (Ayah Annisa)


Keras


Haji Hanan Abdul Malik memiliki watak yang keras karena dalam mendidik anak perempuannya beliau selalu menekankan kepada Annisa akan kewajiban dan hak Annisa sebagai peremupan. Serta segala keputusannya harus dipatuhi tidak boleh ditentang.


“Ow...ow...ow...jadi begitu. Apa ibu belum mengatakan padamu kalau naik kuda hanya pantas dipelajari oleh kakakmu Rizal, atau kakakmu Wildan. Kau tahu mengapa? Sebab kau ini anak perempuan Nisa. Nggak pantas anak perempuan kok naik kuda, pencilakan, apalagi keluyuran mengelilingi ladang, sampai ke blimbang segala. Memalukan! Kau ini sudah besar masih bodoh juga, hehh!!” (halaman 7




Hajjah Mutmainah (Ibu Annisa)


Bijaksana


Hajjah Mutmainah memiliki sikap dan watak yang bijaksana karena ia selalu adil dan tepat dalam memutuskan sebuah perkara atau keputusan.



“Sudah-sudah. Sekarang mandi sana. Kau Rizal. Kau juga Nisa.”
Suara ibu menyela sambil mendekati kami berdua, memberi keputusan yang adil...(halaman 7)



Kalsum

Tegas, dan yakin dalam bertindak/mengambil keputusan

Kalsum adalah sosok wanita yang tegas dan yakin dalam mengambil setiap keputusan yang dirasa bagunya itu benar, misalnya saja untuk belajar ilmu agama kepada Nissa, padahal ia lebih tua, tapi ia yakin dan mantap memutuskan untuk meminta Annisa mengajarinya atau menjadi gurunya.

Buktinya terdapat pada kutipan berikut.


“Anis, kau seperti adikku   seeendiri. Jiiika kau sudi, ajarilah aku tentang hukum-hukum Islam. Aku lihat kau begitu khusuk beribadah dan terlihat sekali, kau begitu menikmati setiap amalan yang kau kerjakan. Aku juga sering tergetar jika menatap matamu, betapa tegasnya jika kau berbicara tentang kebenaran. Bahkan kulihat Mas Samsendiri segan padamu, sekalipun ia tidak menyukaimu.”
(halaman 124)



“Kau benar, Anis. Tetapi aku lebih senang lagi jika kau adalah guruku dalam hal ini. Sebab aku telah melihat kemampuanmu dan bagaimana perilakumu selama ini. Aku bicara apa adanya, Anis. Sama sekali tidak mengada-ada.”(halaman 124-125)





Mbak May


Suka memberi nasihat



Mbak May adalah wanita yang sholehah dan suka memberi nasihat. Karena setiap Annisa menyimpan beribu pertanyaan yang mengganjal hatinya  Mbak May selalu menjawab pertanyaan Annisa dan memberikan Annisa nasihat yang membuat Annisa puas dan mengerti.



Buktinya terdapat pada kutipan berikut.


“Eh, Nissa. Orang pemalas tidak perlu dicemburui. Lagi pula Nissa kan perempuan. Perempuan itu memiliki kewajiban untuk belajar mengurusi rumah tangga. Itu semua baik untuk masa depan Nissa.”(halaman 21)

 

Aisyah

Setia kawan
























 


Penakut

Walaupun Aisyah bukan santri di pondok Annisa, tetapi dia adalah salah satu gadis di desa Annisa. Ia juga merupakan teman Annisa yang setia dan baik, karena ia selalu mendengar keluh kesah Annisa, dan selalu ada jika Annisa membutuhkannya.













Di balik sifat setia kawannya Aisyah adalah gadis yang penakut. Ini bertolak belakang dengan annisa yang berani. Aisyah takut dalam mencoba hal yang baru yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.

Buktinya terdapat pada kutipan berikut.
“Lalu pergi ke rumah Aisyah sahabatku yang paling akrab. Aisyah memang bukan santr di pondok kami, tetapi Aisyah adalah salah satu diantara perempuan desa yang sering datang ke rumahku. Seperti juga aku yang sering datang ke rumahnya. Meskipun ia sudah kelas 1 tsanawiyah, aku tak pernah sungkan untuk menumpahkan perasaan padanya.”(halaman 58-59)





“Enggak, ah! Aku takut. Lagian gak punya uang. Kita kan belum tujug belas tahun, Niss? Nanti aku bilangin sama bapak kamu, lho!”(halaman 63)

“Jangan Niss. Aku takut melihat senyumannya, pastilah ini yang dinamakan serigala berbulu domba. Kita pulang saja.”(halaman 67)


Rizal

Ambisius, tergesa-gesa, kurang hati-hati

Rizal adalah kakak Annisa yang memiliki sifat terhesa-gesa dan berambisi untuk memiliki sesuatu. Karena ia selalu tergesa-gesa melakukan sesuatu dalam mencapai hal yang diinginkannya.

Buktinya terdapat pada kutipan berikut.
“Ini kesempatan! Dia pasti sedang lemes!” Rizal ganti berteriak

“tetapi Rizal terus merangsek. Menapakkan kakinya ke gigir tanah yang dekat dengan air. Karena terlau bernafsu atau kurang hati-hati, ia terpeleset dan byuurr...kecemplung blumbang.”(halaman 3)



wildan

Pendiam





























 

Bijaksana

Berbeda dengan Rizal, kakak Annisa yang satunya ini lebih pendiam, karena ia tak banya bicara seperti Rizal.

























Selain pendiam dan pemalu, di saat tertentu Wildan adalah laki-laki yang bijaksana karena  ia tepat dalam memberi keputusan.

Buktinya terdapat pada penggalan paragraf berikut.
“Seperti piring-piring yang berkilatan karena minyak, aku sering mencuru pandang ke arah meja makan yang masih terlihat dari tempat cucian. Mengamati wajah-wajah mereka yang begitu bahagia. Merdeka. Apalagi ketika tangan Rizal mengepal-ngepal sambil bercerita, entah apa yang diceritakannya. Berbeda dengan Wildan yang pendiam dan banyak merenung, ia hanya mengangguk dan banyak menggerakkan tangannya yang menunjukkan tak setuju.”(halaman 9)



“kalau aku diizinkan berpendapat, menurutku, Lek Khudori masih terlalu muda sebagai hakam dalam masalah ini. Apa tidak lebih baik yang di utus sebagai hakam adalah satu pihak yang minimal telah berkeluarga. Sebab dengan itu, pastilah dia lebih tahu urusan dan permasalahan tentang keluarga. Ini pendapat saya.” (halaman 187)




Nina


Ingin tahu, penasaran














Suka pilih-pilih


Nina adalah perempuan yang selalu ingin tahu, karena ia ingin tahu urusan orang lain yang dikiranya menarik. karena itu juga ia sering penasaran dengan pertanyaan-pertanyaannya sendiri.



Berbeda dengan Annisa, Nina adalah gadis yang suka pilih-pilih dalam memilih laki-laki atau segala hal yang menyangkut masa depannya. Ia memiliki tipe laki-laki idaman.




Buktinya terdapat pada kutipan percakapan berikut.
“Siapa dia Nis. Pacarmu. Tunanganmu?”
“Pasti sang doi?”
“Tetapi santai, ya. Siapa sih, Nis. Kenalin dong.”(halaman 206-207)



“Anehnya.”kata Nina, ”laki-laki seperti Basuni itu yang sering muncul dalam pencarianku. Padahal impianku tidak lebih tidak kurang, samalah dengan impianmu, Nis.”(halaman 235)


Mbak Maryam


Kritis dan tegas dalam berargumen


Mbak Maryam sangat kritis dalam menanggapi argumen orang lain, selain itu dia juga sangat mantap dan tegas ketika beragumen dengan orang lain agar pendapatnya dapat diterima dan disetujui.


“Kupikir Nina benar.” Kata Mbak Maryam, “Laki-laki yang demokratis dan emansipatoris seperti suamimu, Nis, boleh dibilang langka, sekalipun menjadi idaman banyak perempuan. Memang di sinilah masalhanya.”(halaman 235)



“Itu benar. Bukankah penindasan dan diskriminasi terhadap perempuan itu dimulai sejak mereka lahir? Bahkan boleh jadi sebelum mereka lahir dan diperkirakan akan lahir.”(halaman 235)


“Banyak sekali para bapak yang nota bane laki-laki tidak menginginkan anak perempuan. Maka jika ternyata anak perempuan yang lahir, sikap sang abapak akan menunjukkan sikap ketidaksukaannya, dan ini mengemuka dalam semua perilakunya. Misalnya tidak pernah mau memandikan, tidak mau membelikan pakaian yang layak, selalu merasa terganggu dengan tangisannya, acuh tak acuh yerhadap seluruh yang menimpa putrinya, dan banyak sikap yang menujukkan betapa ia menyesal dan tidak suka atas kehadiran putrinya sendiri.” (halaman236)


“Menurutku, mungkin citra yang beredar di kalangan masyarakat luas bahwa perempuan itu makhluk nomor dua, banyak masalah dan menyulitkan, kurang produktif dan tidak mandiri. Lebih jauh banyak kalangan masyarakat perempuan itu kurang akalnya, tidak mampu mengambil keputusan. Jadi dalam hal menikah misalnya, tidak perlu ia dilibatkan dalam mengambil keputusan, kecuali kalau sudah janda.”halaman 236)




“Menurut saya,” kata Mbak Maryam, “jika membicarakan hak dalam hal ini, keduanya punya hak untuk berinisiatif. Yang menjadi masalah adalah, inisiatif itu kan perlu juga ditindak lanjuti dan untuk itu perlu ada kesepakatan dengan mempertimbangkan kondisi baik suami atau istri.” (halaman 237)



Lek Umi Sa’adah

Penakut

Umi penakut karena ia tidak berani mengemukakan pendapat atau apa yang dirasakannya kepada suaminya.

“Mungkin karena aku takut dan khawatir dengan kehamilanku, juga sebenarnya, rasa sakit itu belum hilang betul, Nis, jadinya pun yaku menjadi kaku dan tak pernah mengeluarkan cairan. Akhirnya yang kurasakan hanyalah sakit dan perih.” (halaman 268)

2.1.2.3  Plot/Alur
a.       Jenis Alur
Alur yang digunakan dalam novel “Perempuan berkalung Sorban” adalah alur mundur atau flashback. Karena cerita dalam novel ini berawal ketika Annisa dan Mahbub anaknya membuka kembali buku kenangannya di masa lalu. Setelah membuka buku itu, lalu di ceritakan kembali kisah Annisa dari kecil dan berakhir sampai di awal ketika ia membuka buku kenangan tersebut.
Alasan kenapa alur novel “Perempuan Berkalung Sorban” penulis simbulkan alur mundur, karena dalam novel ini ceritanya terjadi ketika Annisa dan anak semata wayangnya Mahbub, membuka dan membaca buku catatan Annisa di masa lalu. Kemudian kisah kehidupan Annisa dari masa kanak-kanak hingga dewasa diceritakan ulang. Setelah itu, novel ini di akhiri ketika Annisa meletakkan buku catatan masa lalunya yang telah dibacanya dengan senyuman bangga.
Bukti bahwa alur novel “Perempuan Berkalung Sorban” alur mundur  terdapat pada kutipan berikut.
“Meski sudah berlalu, jauh di belakang waktu, masa kanak itu banyak menyimpan cerita. Kadang mengasyikkan, tapi lebih banyak yang menyebalkan. Dan kini setelah aku mendapatkan gelar, sudah memiliki Mahbub, anak semata wayangku, cerita itu sering muncul seturt dengan pengetahuan yang kudapatkan dari lembaran buku kehidupan...” (kutipan halaman 2).
“Aku tersenyum bangga. Kuletakkan buku yang sedari tadi kubaca di sisinya. Lalu kucium dahinya dengan lembut. Selembut embun pagi yang menetes dari langit biru. Mengisi jadwal dan kewajiban hari-hariku unutk tetap melangkah, memerdekakan kaumku yang masih saja lemah. Agar mereka selalu hadir dan mengalir di tengah zaman. Membawa kemudi. Panji matahari.” (halaman 316)
b.      Bagian/Tahapan Alur
1)      Tahap Permulaan
Pada tahap ini pengarang memperkenalkan tokoh-tokohnya, menjelaskan peristiwa itu terjadi, memperkenalkan kemungkinan yang akan terjadi.
Pada novel “Perempuan Berkalung Sorban” tahap permulaan ditunjukkan ketika Annisa membuka buku kenangan masa kanaknya, lalu mulai diceritakan kembal masa kanaknya yang dulu pernah dialaminya. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
Meski sudah berlalu, jauh di belakang waktu, masa kanak itu banyak menyimpan cerita. Kadang mengasyikkan, tapi lebih banyak menyebalkan. Dan kini, setelah aku mendapatkan gelar, sudah memiliki Mahbub, anak semata wayangku, cerita itu sering muncul seturut dengan pengetahuan yang kudapatkan dari lembaran buku kehidupan. (halaman 2)
2)      Tahap Pertikaian
Pada tahap ini ditunjukkan suara emosional yang semakin panas karena tokoh mulai dilibatkan dengan konflik.
Pada novel ini tahap pertikaian ditunjukkan ketika Annisa dijodohkan dengan Samsudin. Ini membuat Annisa kecewa. Ia berontak dengan keputusan orang tuanya. Bukti kutipannya adalah sebagai berikut ini.
Mendengar kata-kata itu, darahku serasa beku. Aku tertahan dan berdiam seperti patung. Rupanya mereka tengah merundingkan sesuatu untuk masa depanku. Alangkah jauhnya mereka melewati nasibku. Begitu riangnya mereka menggambari masa depanku semau-maunya. Pastilah mereka mengira, alangkah bodoh dan naifnya aku ini, sehingga untuk menentukan nasib masa depanku sendiri, tak perlu lagi mereka melibatkanku. (halaman 90).
3)      Tahap Perumitan
Tahap yang menunjukkan semakin panas karena konflik semakin mendekati puncak.
Tahap perumitan pada novel ini ditunjukkan ketika Annisa dan Samsudin sudah menikah dan mengalami malam pertamanya dengan keterpaksaan. Buktinya dapat dilihat pada kutipan berikut.

Masih segar dalam ingatanku. Serasa gambar-gambar hitam yang bergerak di layar putih pada suatu malam. Tapi ini buklan  malam. Lelaki itu duduk di atas kursi rotan sambil mengisap rokok kreteg dengan begitu nikmatnya. Asapnya melayang-layang di udara memenuhi ruang tamu. Sesekali, sewaktu aku datang mendekat, asap itu menabrak muka dan menyusup ke dalam rambutku. Ia tertawa melihat reaksiku yang begitu sebal dengan gulungan ular kabut yang keluar dari mulutnya. Malah ia sengaja menyembur-nyemburkan asap itu dari mulutnya ke mukaku, ke leherku, juga ke arah dadaku. Dan ketika ia hendak menyemburkan asap itu ke daerah paling sensitif, aku berdiri tepat di mukanya, berkacak pinggang dan menuding mukanya di depan hidungnya.

“Hentikan kelakuanmu atau aku pergi dari rumah ini?”
“Waduh, waduh! Galak amat!” ia tertawa dan terus tertawa melecehkan.
“Kau pikir, karena kau suamiku, kau bisa seenaknya memperlakukan aku?”
“Apa yang kau katakan Nisa? Aku hanya ingin main-main denganmu.”
“Main-main? Permainanmu sangat menyebalkan.”
(halaman 95-96)

4)      Tahap Puncak
Merupakan tahapan dimana konflik telah mencapai puncak.
Tahap puncak pada novel ini adalah ketika Samsudin selalu memaksa untuk melakukan hubungan intim dengan Annisa tanpa mempedulikan kondisi dan keadaan Annisa. Hal ini membuat Annisa benar-benar sudah tidak tahan lagi. Bukti dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

Aku kaget dan hendak lari keluar ketika ia tiba-tiba mendekapku dengan kuat dan menlunaskan segalanya. Nafasnya mendengus-dengus serupa lembu yang sedang melihat rumput hijau untuk disantapnya. Ia tak peduli dan mungkin memang tak bisa untuk melepaskan pakaianku dengan cara yang lembut. Sampai aku tak merasakan apapun di malam pertama itu kecuali rasa sakit, nyeri dan takut. (halaman 107)
5)      Tahap Pelereian
Pada tahap ini konflik yang terjadi mulai berkurang dan menurun.
Tahap pelereian dalam novel ini adalah ketika keluarga Annisa berantusias untuk menyeleseikan perkara dan problem pernikahan Annisa dengan Samsudin. Karena di sini permasalahan atau konflik yang dialami annisa mulai mereda. Buktinya terdapat pada kutipan berikut ini.

Malam itu, malam ketujuh dari cuti sekolah. Kami berbincang di ruangan tengah. Setelah pengajian bubar, kami sekeluarga ditambah Lek Khudori tentunya,mengadakan pertemuan khusus membahas problem pernikahanku. Meski masih terlihat sedikit kelalahan di wajahnya, bapak memaksakan diri untuk duduk di antara kami. Rizal dan Wildan menekur ke meja. Ibu duduk dengan tenang, dan kulihat Lek Khudori sebentar-sebentar menengok ke arahku, bergantian kearah bapak lalu ibu. Setelah mendehem tiga kali, bapak membuka pertemuan informal dengan seloroh yang jarang sekali dilakukan. (halaman 181-182)

Mencairlah sedikit ketegangan dalam hidupku. Malam itu, sekalipun udara pegunungan begitu dingin, melihat simapti yang ditujunjukkan oleh semua yang ada di rumah, aku mendapat kehangatan lain yang membuatku terharu dan ingin menangis. Rizal behenti memperolokku dan Wildan memberikan yang cukup berarti untuk selseinya masalahku. (halaman 187)
Mendengar pengakuan yang jujur dan tulus itu, tiba-tiba rasa bersalah menyeruak dari dasar kalbu dan ingin dihampurkannya keluar. Kuambil tangannya lalu kuciumi dengan segenap penyesalan dan tetesan air mata. Mas khudori merengkuhku dan mendudukkanku dalam pangkuannya. Ekspresi mukanya sama sekali tak menyiratka rasa jengkel atau marah. Sebaliknya, kedua mata itu redup menyiratkan rasa sayang dan perasaanku menjadi kepayang untuk bermanja-manja setelah berhari-hari diliputi mendung yang gelap. (halaman 281)
6)      Tahap Akhir
Tahap ini merupakan tahapan yang merupakan tahapan yang berisi ketentuan final dari segala konflik yang disajikan.
Tahap akhir dalam novel ini adalah ketika Annisa bercerei dengan Samsudin dan menikah dengan Lek Khudori, lalu memiliki anak tetapi pada akhirnya Lek Khudori meninggal dunia karena kecelakaan. Buktinya terdapat pada kutipan berikut.

Tepat pukul sepuluh malam, setelah melalui perjuangan yang luar biasa anatara jiwa dan janinku, bayi yang ku tunggu itu lahir dan melengking menembus kesadaranku akan makna seoranng ibu. Aku menangis haru dan terlelap sesaat oleh rasa lelah dan bangga atas kelahirannya. Mas Khudori memelukku dan membelai-belai kepalaku denga tetesan air mata haru dan sayang. Ia bisikan ucapan terimakasih dan kata-kata cinta itu berulang-ulang seakan inilah saat dimana tak ada lagi celah bagi siapapun utnuk memisahkan kami berdua. (halaman 294)
Lalu kutatap Mahbub daqn kubawa ia mendekati bapaknya, menjabat tangannya dan mencium keningnya. Dingin. Saat menatap wajahnya, aku tak tahan oleh getaran kesadaranku sendiri yang baru lahir, bahwa kami akan berpisah, seperti ketika bapak mengusirnya dari rumah kami dahulu, seperti keetika ia akan berangkat menuju Kairo. Tetapi keberangkatannya kali ini, akan merentang jarak penantianku yang begitu panjang, entah kapan kami dapat bertemu kembali. Kemudian, sekalipun berusaha ku tahan, air mataku berlinang. Namun tak satupun kata ratapan kuucap. (halaman 313)



2.1.2.4  Latar

a.       Tempat
Latar tempat yang digunakan dalam novel “Perempuan Berkalung Sorban” dapat dilihat pada tebelberikut ini.


Tempat


Alasan


Bukti




Pedesaan


Latar terjadi di pedesaan karena tokoh banyak mengalami kejadian ditempat yang menunjukkan bahwa tempat tersebut hanya ada di kawasan pedesaan. Selain itu juga digunakan bahasa atau kata yang biasa digunakan di desa.


“Gemericik air tak henti mengalir, mengisi kolam dan blumbang. Sungai-sungai kecil melengkungkan tubuhnya seoerti sabit para petani yang mneunggu musim panen...” (halaman 1).


“Siapa yang mau belajar naik kuda? Kau, bocah wedhok?”(halaman 7)



“...nggak pantas, anak perempuan naik kuda, pencilakan, apalagi keluyuran mengelingi ladang sampai ke blumbang segala...”(halaman 7).



Pondok Pesantren

Karena di dalam novel kisahnya terjadi di kawasan pondok dan gaya berbicara serta permasalahan yang diangkat adalah masalah yang bernuansa islam dan adat-adat atau tradisi yang biasa terjadi di pondok pesantren.

Bukti yang mendukung terdapat pada kutipan berikut.


“Memang, di pondok kami, Pondok Pesantren Putri yang didirikan oleh bapakku, Kiai Haji Hanan Abdul Malik, memliki cita-cita dan harapan untuk mendidik dan menjadikan para remaja putri agar menjadi kaum muslimah yang berguna bagi negara dan bangsa. Meskipun dalam praktiknya, pondok kami selalu menekankan pendidikan akhlak bagi perempuan, khususnya akhlak perempuan dalam bermasyarakat dan berumah tangga” (halaman 51)



Memang Mbak May pernah menjadi juara Musabaqah Tilawatil Quran Tingkat Kabupaten untuk golongan remaja. Dan di lingkungan pondok, Mbak May diserahi tugas melatih para santri yang tertarik belajar tilawah. Para santri sering menyebutnya qira’ah. Membaca ayat-ayat suci dengan lagu dan irama.




Jogjakarta


Latar tempat yang juga dominan yang di tempati tokoh adalah di daerah Jogjakarta. Karena tokoh utama dalam novel ini kuliah dan belajar di salah satu Universitas di Jogjakarta.


Buktinya terdapat pada kutipan berikut.
“Atas dukungan ibu dan Wildan juga atas pertimbangan bahwa kondisiku kurang baik untuk tinggal terlalu lama tanpa aktivitas setelah menjanda, aku putuskan niatku untuk segera berangkat ke Yogyakarta, melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Sekalipun Rizal dan Wildan di Yogya, aku tidak mau tinggal bersama mereka. Aku ingin merasakan kemerdekaan hidup yang mengobsesi sekian lama dalam benakku.”(halaman 202)



“karena kesibukan kuliah dan Lek Khudori juga sangat sibuk dengan pekerjaannya, hanya memerlukan waktu tiga hari kami di rumah. Dengan linangan air mata haru dan sedih, ibu melepasku kembali untuk pergi ke Yogyakarta..”(halaman 215)




b.      Waktu

Latar waktu yang digunakan dalam novel “Perempuan Berkalung Sorban” yaitu sekitar tahun 80-an. Karena di dalam novel tersebut menceritakan tentang perjuangan seorang wanita untuk menyamakan kedudukan dan haknya dengan laki-laki. Selain itu alasan yang mendukung bahwa Novel ini berlatar waktu tahun 80-an adalah  kejadian-kejadian atau kehidupan tokoh Annisa yang menggambarkan kehidupan pengarang di era 80-an. Selain itu juga, peralatan atau alat komunikasi yang digunakan masih berupa surat, telepon masih jarang sekali dimiliki oleh masyarakat. Bukti yang mendukung adalah sebagai berikut ini.
Pada saat usia kandunganku mencapai lima bulan, ibu dan bapak mengunjungi kami untuk melihat dengan mata kepala sendiri cerita kehamilanku yang telah kukabarkan melalu surat. Terlihat ibu begitu terharu dan gembira dan bapak mengeleng-gelengkan kepala terus menerus, seakan tak percaya dengan semuanya. (halaman 287)


2.1.3        Sarana Cerita

2.1.3.1  Judul

Judul novel tersebut ialah Perempuan Berkalung Sorban. Hubungan judul dengan isi novel sangat padu dan tepat. Judul tersebut memilki unsur feminisme yang sangat kuat. Di dalam novel digambarkan seorang perempuan yang berkalung sorban, sementara sorban pada kenyataannya merupakan simbol seorang laki-laki atau sesuatu yang lazim digunakan oleh laki-laki. Novel tersebut ingin mengangkat hak-hak perempuan dan tidak hanya mengutamakan kaum laki-laki atau istilah lainnya ialah kesetaraan gender antara laki-laki dengan perempuan.

2.1.3.2  Sudut Pandang
Sudut pandang yang dipakai dalam novel ini adalah sudut pandang orang pertama serba tahu. Karena dalam novel ini, menggunakan kata “aku” untuk mendeskripsikan tokoh utama dan dengan kata “aku” tokoh utama ini dapat mendeskripsikan tokoh lainnya. Atau dengan istilah lain sudut pandang yang digunakan adalah sudaut pandang orang pertama atau Aku­an-Sertaan. Karena dalam novel “Perempan Berkalung Sorban” bercerita tentang kehidupan dan permasalahan yang dialami oleh Annisa Nuhaiyyah dan ia sekaligus sebagai pencerita tokoh lainnya yang ada di dalam novel ini.
Bukti yang menunjukkan bahwa novel “Perempuan Berkalung Sorban” menggunakan sudut pandang orang pertama Akuan-Sertaan terdapat hampir di semua percakapan maupun deskripsi di setiap halaman. Misalnya pada beberapa kutipan berikut ini.
1)      Aku tak tahu apalagi menerka, kenapa bapak memberiku nama Annisa. Lengkapnya Annisa Nuhaiyyah. Aku hanya mengerti bahwa kata itu memiliki arti perempuan yang berakal, atau perempuan yang berpandangan luas.(halaman 51)
2)      Seperti piring-piring yang berkilatan karena minyak, aku sering mencuru pandang ke arah meja makan yang masih terlihat dari tempat cucian. Mengamati wajah-wajah mereka yang begitu bahagia. Merdeka. Apalagi ketika tangan Rizal mengepal-ngepal sambil bercerita, entah apa yang diceritakannya. Berbeda dengan Wildan yang pendiam dan banyak merenung, ia hanya mengangguk dan banyak menggerakkan tangannya yang menunjukkan tak setuju. Bapak akan terbahak-bahak manakala Rizal mampu membawakan cerita petualangan baru yang lucu dan seru. Tetapi begitu aku datang di antara mereka, semuanya jadi terdiam.(halaman 9)

2.1.3.3  Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan dalam novel “Perempuan Berkalung Sorban” adalah gaya bahasa sehari-hari atau bahasa yang digunakan orang keseharian. Tetapi dalam novel ini juga sedikit-sedikit dicantumkan bahasa jawa untuk bahasa percakapannya.
Bukti penggunaan bahasa keseharian dan sedikit bahasa jawa adalah sebagai berikut.
“Siapa yang mau belajar naik kuda? Kau, bocah wedhok?
“Ow...ow...ow...jadi begitu. Apa ibu belum mengatakan padamu kalau naik kuda hanya pantas dipelajari oleh kakakmu Rizal, atau kakakmu Wildan. Kau tahu mengapa? Sebab kau ini anak perempuan Nisa. Nggak pantas anak perempuan kok naik kuda, pencilakan, apalagi keluyuran mengelilingi ladang, sampai ke blimbang segala. Memalukan! Kau ini sudah besar masih bodoh juga, hehh!!” (halaman 7)
Selain menggunakan bahasa keseharian dalam novel perempuan berkalung sorban juga menggunakan beberapa majas. Misalnya majas,
1.      Majas personifikasi, majas personifikasi itu memiliki pengertian yaitu pengungkapan dengan menyampaikan benda yang mati seolah-olah hidup dan memiliki sifat/sikap seperti manusia.
Bukti yang mendukung terdapat pada kutipan paragraf berikut.
“Di balik rimbunan perdu yang agak tersembunyi, di antara dua pohon jati yang selalu menengadahkan wajahnya ke langit, burung kolibri sahabatku sedang berkicau.” (kutipan halaman 2)
Unggas dan belalang, jangkrik dan kunang-kunang, burung perenjak dan kutilang bernya riang, mengelilingi suka citaku dengan rebana alam. (halaman 190)

2.      Majas metafora, majas metafora memiliki pengertian yaitu pengungkapan dengan perbandingan analogis dengan menghilangkan kata pembanding, misalnya, seperti, layaknya, bagaikan, bak, dan lain-lain.
Bukti yang mendukung terdapat pada kutipan berikut ini.
“Begitulah, sampai akhirnya aku berhasil naik kuda sampai ke perbatasan desa. Lalu berhenti dan memancing ikan di sungai. Memang tidak mendapatkan ikan, tapi ikan-ikan kehidupan selalu kudapat dari Lek Khudori. (kutipan halaman 25)
Unggas dan belalang, jangkrik dan kunang-kunang, burung perenjak dan kutilang bernya riang, mengelilingi suka citaku dengan rebana alam. (halaman 190)
Memang sejak dari sono-nya sudah punya watak karakter itu, jadi tinggal memilih waktu saja mainkan perilaku bunglonnya. (halaman 275)
3.      Majas Sarkasme, yaitu menggunakan sindiran secara langsung dan kasar.
Buktinya terdapat pada kutipan berikut ini,
“Persetan! Aku tak mau dengarkan omong kosongmu. Pembohong! Semua laki-laki pembohong! Dengan satu dan lain gaya, dasarnya semua laki-laki itu pembohong. (halaman 275)
2.1.3.4  Suasana
Latar suasana dalam novel “Perempuan Berkalung sorban” adalah sebagai berikut.
1)      Tegang
Suasana tegang sering muncul pada novel ini misalnya ketika Annisa dan keluarganya sedang mengadakan pertemuan khusus untuk membahas masalah yang dihadapi dalam pernikahan Annisa dan samsudin.
Buktinya terdapat pada kutipan berikut ini.
Malam itu, malam ketujuh dari cuti sekolah. Kami berbincang di ruangan tengah. Setelah pengajian bubar, kami sekeluarga ditambah Lek Khudori tentunya,mengadakan pertemuan khusus membahas problem pernikahanku. Meski masih terlihat sedikit kelalahan di wajahnya, bapak memaksakan diri untuk duduk di antara kami. Rizal dan Wildan menekur ke meja. Ibu duduk dengan tenang, dan kulihat Lek Khudori sebentar-sebentar menengok ke arahku, bergantian kearah bapak lalu ibu. Setelah mendehem tiga kali, bapak membuka pertemuan informal dengan seloroh yang jarang sekali dilakukan. (halaman 181-182)

2)      Haru (Mengharukan)
Suasana haru terjadi ketika keluarga Annisa menaruh simpati atas masalah pernikahan Annisa dengan Samsudin. Annisa terharu ketika semuanya berantusias untuk menyeleseikan permasalahan itu. Selain itu, suasana terharu juga ditunjukkan oleh Hajjah Mutmainah ketika harus melepas anak dan memantunya kemabali ke Yogyakarta.
Bukti yang mendukung terdapat pada kutipan berikut ini.
Mencairlah sedikit ketegangan dalam hidupku. Malam itu, sekalipun udara pegunungan begitu dingin, melihat simapti yang ditujunjukkan oleh semua yang ada di rumah, aku mendapat kehangatan lain yang membuatku terharu dan ingin menangis. Rizal behenti memperolokku dan Wildan memberikan yang cukup berarti untuk selseinya masalahku. (halaman 187)
Mendengar pengakuan yang jujur dan tulus itu, tiba-tiba rasa bersalah menyeruak dari dasar kalbu dan ingin dihampurkannya keluar. Kuambil tangannya lalu kuciumi dengan segenap penyesalan dan tetesan air mata. Mas khudori merengkuhku dan mendudukkanku dalam pangkuannya. Ekspresi mukanya sama sekali tak menyiratka rasa jengkel atau marah. Sebaliknya, kedua mata itu redup menyiratkan rasa sayang dan perasaanku menjadi kepayang untuk bermanja-manja setelah berhari-hari diliputi mendung yang gelap. (halaman 281)

3)      Sedih
Suasana sedih juga banyak terasa dalam novel ini, misalnya saja ketika Annisa mandi junub setelah digauli dengan paksa oleh suaminya, Samsudin. Annisa sangat sedih dengan kejadian itu, air matanya menetes tanda kepedihan hatinya.
Buktinya terdapat pada kutipan berikut ini.
Selesei mandi junub, kuamati seluruh bagian tubuhku di muka cermin. Air mata kembali mengalir untuk kesekian kali, kesekian puluh kali, menyumber dari kepedihan, sejak pernikahan mengerikan itu dilaksanakan. Bersamanya tak ada sepenggal waktu yang menyenangkan, pun selagi ia tidur. Sebab bunyi kemerosok dari tenggorakan yang menggelembung itu membuat telingaku sakit. Dan ketika ia menengok ke kiri atau ke kanan di antara tidurnya, setetes air liur berwarna kekuning-kuningan meleleh di atas bantal. (halaman 98)
Hingga seminggu sesudahnya, aku tak mampu bicara apapun kepada siapapun karena terlalu sedih. Kesedihan dan rasa sakit telah mengunci mulutku untuk berkata pada dunia. Saat kesabaran Samsudin untuk mendekatiku sudah habis, demam yang bertengger di tubuhku telah memaksa seorang dokter untuk turun tangan. Dokter mengatakan bahwa aku nervous dan butuh istirahat. Tetapi Samsudi kurang bisa memahami kata-kata, apalagi sebuah kalimat panjang yang sederhana. Ia menjarah masa istirahatku dan kembali dengan tuntunannya. Ia sadar betul mengenai haknya sebagai seorang suami terhadap istrinya. (halaman 110)
Lalu kutatap Mahbub dan ku bawa ia mendekati bapaknya, menjabat tangannya dan mencium keningnya. Dingin. Saat menatap wajahnya, aku tak tahan oleh getar  kesadaranku sendiri yang baru lahir, bahwa kami akan berpisah, seperti ketika bapak mengusirnya dari rumah kami dahulu, seperti ketika ia akan berangkat menuju Kairo. Tetapi keberangkatannya kali ini, akan merentang jarak penantianku yang begitu panjang, entah kapan kami dapat bertemu kembali. Kemudian, sekalipun  berusaha ku tahan, air mataku berlinangan. Namun tak satupun kata ratapan kuucapkan. (halaman 313)

4)      Bahagia
Suasana bahagia dirasakan ketika Annisa hamil. Hal ini membuat Annisa dan keluarganya bahagia sekaligus terharu, apalagi ketika ibunya mngunjunginya ketika usia kandungannya menginjak lima bulan. Buktinya terdapat pada kutipan berikut ini.
Pada saat usia kandunganku mencapai lima bulan, ibu dan bapak mengunjungi kami untuk melihat dengan mata kepala sendiri cerita kehamilanku yang telah kukabarkan melalu surat. Terlihat ibu begitu terharu dan gembira dan bapak mengeleng-gelengkan kepala terus menerus, seakan tak percaya dengan semuanya. (halaman 287)
Tepat pukul sepuluh malam, setelah melalui perjuangan yang luar biasa anatara jiwa dan janinku, bayi yang ku tunggu itu lahir dan melengking menembus kesadaranku akan makna seoranng ibu. Aku menangis haru dan terlelap sesaat oleh rasa lelah dan bangga atas kelahirannya. Mas Khudori memelukku dan membelai-belai kepalaku denga tetesan air mata haru dan sayang. Ia bisikan ucapan terimakasih dan kata-kata cinta itu berulang-ulang seakan inilah saat dimana tak ada lagi celah bagi siapapun utnuk memisahkan kami berdua. (halaman 294)

5)      Emosi
Suasana emosi juga terdapat pada novel ini, suasana emosi sering dialami oleh tokoh utama dalam novel ini, yaitu Annisa. Misalnya pada kutipan berikut ini,
“Alaaah, sok menggurui. Apa yang perlu aku pikirkan. Mas telah membohngiku. Tega-teganya Mas lakukan itu. Bergaya sopan dan sok sayang, ternyata penipu juga!”
“Kau keliru, sayang. Coba dengarkan Mas dulu...”
“Persetan! Aku tak mau dengarkan omong kosongmu. Pembohong! Semua laki-laki pembohong! Dengan satu dan lain gaya, dasarnya semua laki-laki itu pembohong. Memang sejak dari sono-nya sudah punya watak karakter itu, jadi tinggal memilih waktu saja mainkan perilaku bunglonnya. Ah! Bodohnya aku sampai terjebak dua kali,” aku menerawang, “Tetapi tidak! Aku pasti akan bikin perhitungan!” lanjutku gemas. (halaman 274-275)

6)      Takut dan panik
Suasana takut dalam novel ini sering dialami oleh Annisa. Tepatnya ketika Annisa berhadapan dengan Samsudin. Annisa selalu takut ketika Samsudin mendekatinya dan hendak menggaulinya.
Buktinya terdapat pada kutipan berikut ini.
Aku kaget dan hendak lari keluar ketika ia tiba-tiba mendekapku dengan kuat dan menlunaskan segalanya. Nafasnya mendengus-dengus serupa lembu yang sedang melihat rumput hijau untuk disantapnya. Ia tak peduli dan mungkin memang tak bisa untuk melepaskan pakaianku dengan cara yang lembut. Sampai aku tak merasakan apapun di malam pertama itu kecuali rasa sakit, nyeri dan takut. (halaman 107)
Tetapi apa lacur. Samsudin memburu sampai alam impian. Ia berlari mengejarku dengan mata bersinar-sinar kemerahan seakan mata jin ganas berusaha meraihku dengan kelebat sinarnya dan berputar-putar di lapangan terbuka mnegatur strategi untuk meluputkan diri dari pemburu dan mencengkram lawan dengan berbagai tipuan. Napas kami ngos-ngosan sesaat aku lengah sedetik, tangan yang besae dengan kuku yang memanjang seakan panah beracun siap membidikku dari jarak senti. Aku terpekik kaget kemudian hendak melarikan diri, tetapi sebuah kekuatan membebani tubuhku dan menahannya untuk tetap diam. Kubaca semua doa yang mampu. Tetapi makhluk mengerikan itu tetap mendekatiku dan berusaha meraihku, lalu akan histeris mengerahkan seluruh tenaga untuk bangu dengan napas terengah-engah dan keringat meleleh di seputar leherku.
“Nisa! Nisa! Bangun, Nisa!” Mas Khudori panik.
“Mas, Mas! Samsudin!” aku tergagap tak kalah paniknya.
“Ada apa, sayang...ada apa dengan Samsudin. Kau bermimpi?”
“sepertinya ia telah jadi hantu. Matanya bersinar-sinar kemerahan.”
“Kau tidak mengigau, kan?”
“Oh! Ia mengejarku dalam mimpi rupanya. Alangkah mengerikan jika semua itu adalah kenyataan.”
(halaman 254-255)

7)      Gugup
Suasana gugup terlihat ketika Samsuudin ketemu dengan Lek Khudori. Buktinya terdapat pada percakapan berikuti ini.
“Apa kabar, Din? Lama nggak kelihatan,” Mas Khudori menyapanya, datar saja. Samsudin blingsatan.
“O...baik. Kau sendiri?”
“Alhamdulillah! Seperti yang kau lihat. Ini anakmu?” mas Khudori menengok Fadhilah. Buru-buru Mbak Kalsum yang menjawab, “Benar, namanya Fadhilah. Ayo ucapkan salam pada paman.” (halaman 301)

8)      Cemburu
Suasana cemburu ini terasa ketika Annisa mendapat kabar bahwa Lek Khudori sudah pernah menikah di Berlin dan sudah memiliki anak.ini membuat annisa cemburu sekaligus kesal dan tak menyangka.
Buktinya terdapat pada kutipan berikut ini.
Siang itu ia sedang membacakan khotbah jumat di masjid. Begitu ia datang, aku tak tahan untuk menyeretnya ke meja makan dan menyerangnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya gelagapan.
“Apa yang kau katakan, Nisa?”
“Itu...yang dikatakan Aisyah. Ia bilang, katanya Mas sudah punya anak satu. Pantas saja jika menyebut namanya mata Mas begitu mesra. Rupanya pernah ada pertalian batin, ya?”
“Nisa. Cobalah berfikir yang jernih dan belajarlah jadi perempuan yang lapang dada dan dewasa. Coba Nisa pikir.”
(halaman 274)

9)      Lega
Suasana lega terjadi pada tokoh Annisa ketika ia terbebas dari suaminya, Samsudin. Annisa merasakan kelegaan dalam hidupnya ketika ia bercerei dari Samsudin dan akhirnya memutuskan untuk menerima lamaran Lek Khudori.
Buktinya terdapat pada kutipan berikut ini.

Beginilah akhir dan sekaligus awal dari perjalanan takdir yang mest ku pilih. Sebab takdir kehidupan bukanlah satu, tapi banyak, dan hanya manusia yang diberi akal untuk memilih di antaranya.
Maka ketika percereian itu berlangsung dengan tenang, ku tatap langit di atasku dengan seluruh hamburan cahaya bintan-bintang. Bunga bermekaran mengirim wangi merasuk sanubari, mengangkatku jauh melayang ringan menjemput purnama dan gemerlap udara kebebasan. Unggas dan belalang, jangkrik dan kunang-kunang, burung perenjak dan kutilang bernya riang, mengelilingi suka citaku dengan rebana alam. (halaman 190)
Terangkatlah seluruh beban yang berton-ton beratnya dari punggung kehidupanku. Denga pernikahanku yang kedua kali ini, saat usiaku sedang menginjak lebih dewasa, kuhirup kembali kemerdekaan yang ketiga dalam kehidupanku. Yang pertama adalah kemerdekaan saat aku masih kanak-kanak, kemudian yang kedua, saat aku terbebas dari kerangkeng besi penjara Samsudin, dan yang ketiga, saat aku menikah dengan Lek Khudori. Kukatakan pernikahan ini merupakan masa kemerdekaan hidup yang ketiga, sebab dengan menikah, status janda yang rawan gunjingan itu telah lenyap dari hidupku dan kini kebanggan lain telah mengisi hari-hariku. (halaman 215)
Ketika hendak pulang, kulihat raut muka bapak begitu ceria dan lega, tanpa bisa ditutupi memuji-muji Mas Khudori sebagai menantu yang penuh perhatian, sabar dan santun pada mertua. Ibu Cuma mengedipkan mata padaku tanda melecehkan penilaian bapak yang selalu kedaluwarsa. (halaman 289)

10)  Kesal
Suasana kesal juga banyak terjadi dalam novel ini, misalnya saja ketika suatu malam Annisa dan Samsudin berada di rumah. Annisa kesal dengan Samsudin yang bermain-main dengan asap rokok. Samsudin dengan sengaja menyembur-nyemburkan asap rokok ke tubu Annisa, sehingga Annisa sangat kesal dengan Samsudin.
Buktinya terdapat pada kutipan berikut ini.
Masih segar dalam ingatanku. Serasa gambar-gambar hitam yang bergerak di layar putih pada suatu malam. Tapi ini bukan malam. Lalaki itu duduk di atas kursi rotan sambil mengisap rokok kretek dengan begitu nikmatnya. Asapnya melayang-layang di udara memenuhi ruang tamu. Sesekali, sewaktu aku datang mendekat, asap itu menabrak muka dan menyusup ke dalam rambutku. Ia tertawa melihat reaksiku yang begitu sebal dengan gulungan ular kabut yang keluar dari mulutnya. Malah ia sengaja menyembur-nyemburkan asap itu dari mulutnya ke mukaku, ke leherku, juga ke arah dadaku. Dan ketika ia hendak menyemburkan asap itu ke daerah paling sensitif, aku berdiri tepat di mukanya, berkacak pinggang dan menuding mukanya di depan hidungnya.

“Hentikan kelakuanmu atau aku pergi dari rumah ini?”
“Waduh, waduh! Galak amat!” ia tertawa dan terus tertawa melecehkan.
“Kau pikir, karena kau suamiku, kau bisa seenaknya memperlakukan aku?”
“Apa yang kau katakan Nisa? Aku hanya ingin main-main denganmu.”
“Main-main? Permainanmu sangat menyebalkan.”
(halaman 95-96)

2.2  Unsur Ekstrinsik yang berpengaruh pada Novel ‘ perempuan Berkalung Sorban”
2.2.1        Biografi Pengarang

Abidah El Khalieqy lahir di Jombang, Jawa Timur. Setamat Madrasah Ibtidaiyah, melanjutkan sekolah di Pesantren Putri Modern PERSIS, Bangil, Pasuruan. Di Pesantren ini ia menulis puisi dan cerpen dengan nama Idasmara Prameswari, Ida Arek Ronopati, atau Ida Bani Kadir. Memperoleh ijazah persamaan dari Madrasah Aliyah Muhammadiyah Klaten, dan menjadi juara penulis puisi Remaja Se-Jawa Tengah (1984). Alumni Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga ini menulis tesis – Komuditas Nilai Fisik Perempuan dalam Persfektif Hukum Islam (1989). Pernah aktif dalam Forum Pengadilan Puisi Yogyakarta (1987-1988),  Kelompok Diskusi Perempuan Internasional (KDPI) Yogyakarta, 1988-1989. Menjadi peserta dalam pertemuan APWLD (Asia Pasific Forum on Women,  Law And Development, 1988).

Karya-karya penyair dan novelis yang bertinggal di kota budaya ini, telah dipublikasikan di berbagai media masa lokal maupun nasional, diantaranya The Jakarta Post, Jurnal Ulumul Quran, Majalah Horizon, Republika, Media Indonesia, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Jawa Post, dan lain-lain. Serta dimaktubkan dalam berbagai buku antologi sastra, seperti: Kitab Sastra Indonesia, Angkatan Sastra 2000, Wanita Pengarang Indonesia, ASEANO: An Antologi of Poems Shoustheast Asia, Album Cyber Indonesia (Australia), Selendang Pelangi (antologi perempuan penyair Indonesia), Para Pembisik, Dokumen Jibril, Nyanyian Cinta dan lain-lain, juga dalam beberapa antologi sastra Festival Kesenian Yogyakarta; Sembilu Pagelaran, Embun Tajjali dan Ambang. Membacakan karya-karyanya di Taman Ismail Marzuki (1994 dan 2000). Mewakili Indonesia dalam ASEAN Writers Conferenc/Workshop Poetry di Manila, Philipina (1995). Menjadi pendamping dalam Bengkel Kerja Penulisan Kreatif MASTERA (Majlis Sastra Asia Tenggara, 1997). Membacakan puisi-puisinya di sekretariat ASEAN (1998), Konferensi Perempuan Islam Se Asia-Fasifik dan Timur Tengah (1999). Mendapat Penghargaan Seni dari Pemerintah DIY (1998). Mengikuti Program SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya) di berbagai SMU di kota besar Indonesia (2000-2005). Menjadi pemenang dalam Lomba Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (2003). Dinobatkan sebagai salah satu tokoh muda “Anak Zaman Menerobos Batas” versi Majalah Syir’ah (2004). Menjadi pemakalah dalam Pertemuan Sastrawan Melayu-Nusantara (2005).  Dialog tentang Sastra, Agama  dan Perempuan, bersama Camillia Gibs, di Kedutaan Kanada (2007). Membacakan karyanya dalam Internasional Literary Biennale (2007). Bukunya yang sudah terbit; Ibuku Laut Berkobar (1987),  Menari di Atas Gunting (2001), Atas Singgasana (2002) Genijora (2004), Mahabbah Rindu (2007), dan Nirzona (2008). Serta antologi cerpen dalam bentuk draft; Jalan Ke Sorga (2007) dan The Heavens Gulf (2008).

Hubungan biografi pengarang dengan novel “Perempuan Berkalung Sorban” sangat berkaitan. Di dalam novel diceritakan Annisa adalah seorang santri di pesantren yang didiran oleh ayahnya. Lalu ia juga melanjutkan kuliah di Jogjakarta. Jika dihubungkan dengan pengarang, maka terlihat jelas bahwa sangat berhubungan, karena Pengarang juga merupakan santri lulusan Pondok Pesantren, ia juga merupakan mahasiswa lulusan fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan pengarang berpengaruh terhadap novel yang dibuatnya.


2.2.2        Kehidupan Sosial budaya
Kehidupan Sosial Pengarang Novel Perempuan Berkalung Sorban.
Abidah El Khalieqy tidak hanya dikenal sebagai penyair, tapi juga novelis yang produktif.  Lima novel telah ditulisnya, selain buku kumpulan puisi dan kumpulan cerita pendek. Salah satu novelnya, Geni Jora, memenangi Lomba Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta 2004. Perempuan kelahiran Jombang, 1 Maret 1965, yang mulai menulis sejak usia 12 tahun ini pernah memperoleh penghargaan seni dari Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (1998). Tahun lalu ia menerima Ikapi dan Balai Bahasa Award.
Melalui karya-karyanya, istri penyair Hamdy Salad ini menyuarakan persoalan perempuan. "Dalam benak saya, perempuan di Indonesia masih termarginalkan. Jadi, menurut saya, kondisi perempuan sudah sangat parah," ujar ibu tiga anak ini.
Namanya melambung setelah novelnya, Perempuan Berkalung Sorban (2001), diangkat ke layar lebar oleh sutradara Hanung Bramantyo. Apalagi setelah film tersebut menuai kontroversi. Beberapa adegan di film Perempuan Berkalung Sorban (PBS) dianggap melecehkan pesantren dan kiai. Namun perempuan yang pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Putri Modern Persis, Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, dan IAIN Kalijaga, Yogyakarta,  ini berpendapat lain. Hal itu justru menunjukkan kecintaannya  terhadap kiai dan pesantren dengan mengetengahkan kritikan konstruktif.
Perempuan Berkalung Sorban pada awalnya merupakan ide YKF (Yayasan Kesejahteraan Fatayat), LSM milik Nahdlatul Ulama Yogyakarta, untuk membuat suatu novel tentang pemberdayaan perempuan. Novel ini bertujuan mensosialisasi hak-hak reproduksi perempuan yang sudah diratifikasi oleh PBB. Penulis diminta mengadakan riset tentang hak-hak reproduksi perempuan selama hampir dua tahun. Riset lapangan untuk memberi setting tempat dan yang fisik-fisik selama tiga bulan, di Kaliangkrik, Kajoran, Magelang, Jawa Tengah. Di satu kampung ada banyak pesantren salaf. Lokasinya di pegunungan. Di situ abidah juga menemukan orang-orang yang naik kuda.  Untuk mempertegas karangannya Abidah mengikuti seminar-seminar yang dilakukan oleh YKF selama hampir dua tahun, kemudian ia menulis selama sembilan bulan.  Proyek penulisan Novel Berkalung Sorban dibiayai oleh YKF dan Ford Foundation, sebuah LSM yang bermarkas di New York. Ford Foundation mempunyai motto, “Working with Visionaries on the Frontlines of Social Change Worldwide.”  YKF dan Ford Foundation telah sering bekerjasama dalam penerbitan buku atau novel, antara lain, “Pesantren Mengkritisi KB dan Aborsi”, ” Menghapus Perkawinan Anank, Menolak Ijhar”, “Menolak Mut’ah dan Sirri, Memberdayakan Perempuan”, “Menghapus Poligami, Mewujudkan Keadilan”,  “HIV/AIDS: Pesentren Bilang Bukan Kutukan”, dan “Ketika Pesantren Membincang Jender.”
Awal-awal  kuliah, Abidah aktif di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) namun tidak tertarik masalah politik. Ketika itu, isu tentang feminisme yang ditulis dalam novel seperti Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Sadawi dibahas di mana-mana. Ia juga mulai tertarik untuk membahas persoalan perempuan. Dalam pandangan Abidah, perempuan di Indonesia masih termarginalkan. Kondisi perempuan sudah sangat parah. Ia sependapat bahwa harus dicari akar permasalahannya dan disuarakan sekeras-kerasnya. Artinya, harus ada revolusi pemikiran bahwa ini adalah sesuatu yang sangat mendesak. Selama ini soal perempuan memang sudah banyak ditulis, soal penderitaan mereka dan keterpinggiran mereka. Tetapi bagaimana solusi ke depan untuk menyikapi kondisi seperti ini belum ditulis. Itulah yang melatarbelakangi kenapa Abidah bersedia menulis Perempuan Berkalung Sorban. Ia ingin perempuan memiliki kemandirian, perempuan harus menguasai ilmu. Ilmu pengetahuanlah yang akan menjawab nasib perempuan. Derajat ditentukan dengan ilmu.
Novel Perempuan Berkalung Sorban untuk pertama kali diterbitkan oleh Ford Foundation. Selanjutanya terbitan ke-2 hingga ke-8 Arti Bumi Intaran.


2.3  Amanat novel “ Perempuan Berkalung Sorban”              
Amanat yang terkandung dalam novel “ Perempuan Berkalung Surban” adalah sebagai berikut.
1)      Bahwa kita sebagai perempuan harus memliki prinsip hidup yang tegas dan jelas. Sehingga kita tidak gampang dibodohi oleh orang.
2)      Kita juga harus memiliki tekad dan tujuan hidup yang kuat, sehingga kita dapat menjalani cobaan hidup dengan penuh kesabaran dan pantang menyerah.
3)      Kita sebagai perempuan harus mampu menegakkan hak kita sebagaimana mestinya.
4)      Untuk mencapai tujuan yang kita inginkan, kita harus bekerja keras dan sungguh-sungguh agar semua yang kita inginkan dapat tercapai sesuai dengan harapan.












BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
Setelah membaca novel yang berjudul “ Perempuan Berkalung Sorban” penulis dapat menyimpulkan bahwa tokoh Annisa adalah seorang perempuan yang memiliki tekad yang kuat untuk membebaskan diri dari adat dan tradisi pesantren serta berkeiinginan memerdekakan kaumnya agar tidak selalu dianggap rendah oleh lelaki. Atau lebih tepatnya lagi di dalam novel tersebut, tokoh Annisa menuntut untuk kesetaraan gender, kesamaan antara hak antara laki-laki dan perempuan. Dapat disimpulkan juga bahwa pengarang sangat membela untuk menyamakan derajat atau gender antara perempuan dengan laki-laki.

SARAN
Hendaknya dengan membaca makalah ini, pembaca dapat meningkatkan minat bacanya terhadap novel dan dapat menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsiknya dengan menggunakan teori Robert Stanton karena lebih mudah dan efektif.









LAMPIRAN

SINOPSIS NOVEL “PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN”

Annisa adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua saudaranya laki-laki. Sejak Annisa duduk dibangku SD tepatnya kelas 5 SD, ia sudah mulai jatuh cinta, anehnya ia mencintai Leknya sendiri, yaitu Lek Khodori. Annisa menyukai Lek Khudori karena sifatnya yang tulus dan selalu membela Annisa. Lek Khudori lah yang dengan sabar mengajarinya berkuda. Dengan tenang dan penuh perasaan Lek Khudori mengajari Annisa. Samapi tiba waktunya Lek Khudori harus pergi menuntut ilmu ke Kairo. Saat itulah perasaan Annisa hancur. Setelah beranjak dewasa, Annisa dijodohkan dengan Samsudin anak teman ayahnya Annisa. Dengan terpaksa Annisa menyetujui dan menikah dengan Samsudin. Pernikahan Annisa sangat menyedihkan, perilaku Samsudin tidak mencerminkan bahwa ia anak seorang Kyai. Hari-hari Annisa begitu berat dan menyiksanya. Pernikahan Annisa dengan Samsudin bertahan sampai 4 tahun. Hingga akhirnya Lek Khudori pulang dari Kairo, Annisa pun mencurahkan segala keluh kesahnya kepada Lek Khudori. Kedekatan Annisa dengan Lek Khudori semakin lengket setelah Annisa resmi bercerai dengan Samsudin. Kedekatan Annisa dengan Lek Khudori menjadi fitanh bagi keluarga Annisa. Dengan terpaksa Lek Khudori pergi dari rumah Annisa. Dan Annisa memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Yogyakarta. Ketika Annisa kuliah di Yogyakarta ternyata Lek Khudori selalu mengawasi Annisa, karena ia bekerja sebagai dosen dan tinggal di Yogyakarta juga. Akhirnya Lek Khudori datang melamar Annisa. Pernikahan Khudori dan Annisapun berlangsung. Semua turut bahagia dengan pernikahan itu. Pernikahan annisa dengan Khudori dikarunia satu orang anak. Pernikahan Annisa dengan Khudori tidak berjalan mulus, karena Samsudin terus-terusan meneror Annisa dan Khudori. Tapi hal itu tidak menggoyahkan cinta Khudori dengan Annisa. Sampai pada akhirnya Annisa harus rela melepaskan Khudori untuk selamanya karena Khudori meninggal dunia karena kecelakaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Diksi

ANALISIS DIKSI PADA PUISI