SALAHKAH RASA INI



Perlahan ku buka mataku yang masih terasa berat karena kantuk. Ku tengokkan wajahku ke sebelah kiri, terlihat sebuah meja kecil dari kayu jati dengan warna kuning kecoklat-coklatan di samping ranjang yang ku tiduri. Di atas meja itu ada handphone, segelas air putih, dan foto dengan bingkai warna ungu. Melihat siapa yang ada dalam foto itu, tiba-tiba rasa kantukku hilang ntah kemana. Seakan pergi tak meninggalkan bekas. Aku tersenyum lebar saat menatap foto itu. Seorang gadis yang beranjak dewasa. Memiliki lesung di kedua pipinya. Wajahnya yang indah nan ayu, sungguh melengkapi kesempurnaan pada dirinya. Belum saja aku puas menatap wajah gadis yang selama ini menjadi tempat keluh kesahku, suara gedoran pintu mengagetkanku. Suara yang setiap pagi aku dengar, suara yang paling akrab denganku, dan suara yang begitu aku benci. Sungguh, aku terkadang berpikir tak bisakah ayahku memanggil namaku dengan lembut? Tak bisakah ayahku berbasa-basi denganku untuk sekadar melepas rindu? Ayahku hanya berpikir untuk bekerja dan bekerja, dibenakknya hanya ada pekerjaan yang menghasilkan uang. Itu yang membuatnya tak begitu memahamiku. Yang dipikirkannya hanya bekerja untuk menyekolahkanku setinggi mungkin. Tak aku pungkiri hal ini membuat aku bangga terhadapnya. Walaupun ayahku hanya seorang pedagang cita-citanya untuk menyekolahkanku setinggi mungkin sangat mulia.
“Hei Vania...cepat bangun. Cepat keluar! Livia ada di depan.” Seru ayahku sembari menggedor-nggedor pintu.
“Iya Yah, sebentar,” beranjak membuka pintu “Kenapa Yah, hari ini kan Hari Minggu, aku tidak sekolah.” Jawabku datar.
“Dasar anak malas, memangnya kalau Hari Minggu harus bermalas-malasan dan tidur seharian?” sanggah Ayahku kesal.
Tanpa peduli dengan omelan ayahku, aku beranjak pergi menemui Livia, gadis cantik nan manis yang dari tadi aku pandangi fotonya. Livia adalah sahabat karibku, teman sepermainan, teman sekolah, teman belajar dan teman dalam segala hal. Dapat dibayangkan betapa dekat hubunganku dengan Livia. Tetapi kini ada hal yang mengusik pikiran dan hatiku. Kini aku dan Livia tidak satu kelas. Aku khawatir Livia akan mengabaikanku dan tidak perhatian terhadapku.
Pagi-pagi seperti ini mengapa Livia datang ke rumahku? Adakah hal yang penting? Atau ia merasa rindu kepadaku? Atau ia hanya iseng ke rumahku? Pikiranku buyar setelah Livia mengagetkanku dengan suara merdunya.
“Eh ya...perempuan jam segini baru bangun.” Sapa Livia
“Nggak apa-apa lah Liv, seminggu sekali ini. Memang ada perlu apa kok pagi-pagi kamu udah nongol di rumahku?” tanyaku penasaran.
“Memangnya kamu nggak baca smsku Van?” tanya Livia kecewa
“Engga...”jawabku datar.
“Aku mau ngajakin kamu ke toko buku, tapi sebelum ke toko buku kita ke rumah Rara dulu.” Jelas Livia singkat.
“Kenapa ke rumah Rara dulu Liv? Kan kejauhan?” tanyaku curiga.
“Iya sih jauh, hanya saja Rara bilang mau ikut ke toko buku jadi kita suruh nyamperin dia.” Jelas Livia.
Mendengan nama Rara hatiku terasa sakit. Dan rasa cemburu itu tiba-tiba muncul. Untuk menghindari  kecemburuanku itu, aku menolak ajakan Livia dengan penuh kecewa. Dengan berbagai alasan yang meyakinkan Livia, aku berhasil membuat alasan untuk tidak ikut pergi dengan Livia. Walau dalam hati aku ingin menemaninya, tapi keinginanku terhapus jika ada Rara di tengah-tengah kami. Bagiku Rara adalah sekat pemisah antara aku dan Livia.
Semenjak Livia sekelas dengan Rara dan mengenal lebih dekat, Livia mulai mengabaikanku. Kekhawatiranku selama ini terbukti sudah. Karena takut kehilangan Livia dan kurang komunikasi dengannya, aku mulai membuat kebohongan-kebohongan agar aku selalu dekat dengan Livia.
Mulailah aku ciptakan Dimas, tokoh karanganku yang aku kenalkan dengan Livia. Aku kenalkan Livia dengan Dimas melalu sms. Karena kepolosannya, Livia dengan mudah percaya bahwa Dimas itu ada. Mungkin karena merasa cocok dan nyambung, hari makin hari Livia semakin dekat dengan Dimas yang tak lain adalah diriku sendiri. Livia sudah tak canggung lagi ketika harus cerita ini itu dengan Dimas.
Tapi, tak selamanay kebohonganku itu berjalan dengan indah seperti yang ku harapkan. Lama-kelamaan Livia penasaran dengan sosok Dimas. Ia memintaku untuk mengundang Dimas, tentu saja aku menolak dengan berbagai alasan yang meyakinkan. Tapi karena Rara mendesaka Livia terus menerus, kacaulah segala rencanaku yang ku susun selama ini.
“Ayolah Liv, kenalkan aku dengan Dimasmu itu, aku penasaran dengan dia.” Desak Rara.
“Aku sih sebenarnya ingin ngenalin kamu dengan Dimas, tapi gimana aku mau ngenalinnya, aku komunikasi sama dia saja hanya lewat sms Ra.” Jelas Livia datar.
“Lho bagaimana bisa Liv? Kamu udah kenalan sama dia hampir satu bulan kan? Apa kamu tidak penasaran dengan sosok Dimas itu?”
Pertanyaan demi pertanyaan terlontar mulut Rara, pertanyaan itu membuat Livia mendesakku terus menerus. Aku yang berperan sebagai dalang tentunya tidak ingin ceritaku berakhir sampai di sini saja. Aku harus menyeleseikan ceritaku dengan caraku sendiri. Aku tolak permintaan Livia dengan segala upaya, walaupun sebenarnya aku tak tega melihat kekecewaan di wajah ayunya.
“Please Van, ajak Dimas ketemu aku. Aku penasaran banget sama Dia. Aku nyaman banget kalau aku cerita ama Dia, seakan akan aku tu udah dekat banget dengannya. Kaya kedekatan kita selama ini.” Pinta Livia.
Pengakuan Livia membuatku senang. Karena ia merasa nyaman dengan figur yang aku buat. Sungguh ini membuatku menang dan berhasil. Tapi tetap saja aku merasa kesal karena Rara berhasil membujuk Livia untuk bertemu dengan Dimas.
“Sudahlah Liv, kata-kata Rara tidak perlu kamu dengar, berteman kan tidak harus bertemu, yang penting saling percaya.” Jelasku setenang mungkin.
“Tapi Van, aku poenasaran sekali. Lagi pula kata Rara...”belum sampai Livia menyeleseikan kalimatnya aku sudah memotongnya terlebih dahulu.
“Kenapa sih Liv selalu kata Rara? Apa sekarang kata-kata Rara lebih penting dibandingkan dengan kata-kataku, sahabatmu sendiri?” selaku dengan kesal.
“Bukan seperti itu maksudku Van, hanya saja Rara ada benarnya.” Jawab Livia.
“Rara...Rara...Rara dan Rara, sebenarnya siapa sih sahabatmu Liv aku atau dia?” tanyaku memancing Livia
“Kok kamu gitu Van? Tentu kamu sahabatku. Kamu sahabat terbaikku. Tapi, Rara juga temanku apa salahnya teman memberi saran. Maafkan aku jika terlalu memaksamu Van.” Livia beranjak pergi meninggalkan kelasku.
Sejak terjadi pertengkaran kecil antara aku dengan Livia, aku lebih banyak diam dan memilih menjalani hariku sebagai dengan Dimas. Karena Livia menceritakan apa yang terjadi antara dirinya denganku. Aku senang masih bisa dekat dengan Livia walau peranku sebagai Dimas. Di sisi lain aku kecewa dan sedih karena peranku sebagai diriku sendiri semakin jauh dengan Livia. Aku merindukan kebersamaanku dengan Livia seperti satu, dua, tiga, empat, bahkan bertahun-tahun yang lalu. Hanya ada aku dan Livia. Teringat saat itu, ketika kelas tiga SMP. Aku sakit, demamku tinggi, aku di rumah sendirian. Livia datang untuk merawatku. Sungguh aku mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari Livia yang tidak pernah aku dapatkan dari ayahku. Ia menyelimutiku, memelukku saat aku tidur. Menyuapi aku makan setelah aku bangun, dan membantuku minum obat.
“Cepat sembuh ya Van, biar kita bisa main lagi. Kalau kamu sakit nanti siapa yang akan nglindungi aku?” kata Livia menyemangatiku.
“Kan sekarang kamu pelindungku Liv.”jawabku Lirih.
“Iya kali ini aku pelindungmu tapi lain kali kamu ya yang jadi pelindungku.” Kata Livia dengan senyuman manisnya.
“Makasih ya Liv.” Ucapku terharu
“ Iya sama-sama, ya ini gunanya sahabat.” Livia tersenyum
Sungguh indah saat-saat itu. Aku berpikir, apa aku sakit saja agar Livia tak mengabaikannku lagi? Tapi apakah perhatian dan kepeduliuan Livia seindah dulu? Setulus dulu? Entahlah. Kini hanyalah rasa kecewa yang menghampiriku. Rasa rindu yang menggebu-gebu yang ada dalam hatiku. Ingin aku berlari ke rumah Livia dan meminta maaf. Ingin aku berlari ke rumah Livia dan bilang aku sangat merindukannya. Ah, tidak. pikiran itu aku tepis jauh-jauh dari benakku. Kalau sampai aku melakukan itu, sungguh kekalahan yang aku dapatkan. Rara akan tertawa melihat kekalahanku.
Untuk mengobati rasa rinduku terhadap Livia, aku hanya dapat memandangi foto-foto Livia yang ada di camdig ku, yang ada di hpku, yang ada di laptopku, yang ada di dompetku, yang ada di album, dan semua foto-foto Livia yang aku miliki. Setelah puas aku melihat fotonya, rasa rinduku sedikit terobati. Tapi rasa kecewa kembali menghampiriku, jika aku mengingat bahwa Livia tak banyak menyimpan fotoku di camdignya, kebanyakan hanya fotonya dengan Rara. Sungguh ini membuatku cemburu dan sakit hati. Keasyikanku melihat foto Livia membuatku tak sadar bahwa hp berdering berkali-kali. Bahkan ada beberapa sms masuk. Aku tak sadar karena kondisiku yang sangat kalut dan bimbang. Bahkan aku tak menyadari Livia sudah berdiri tegap di belakangku. Ia menepuk pundakku dengan lembut. Aku kaget melihat Livia telah ada di dalam kamarku. Sejak kapan ia di sini? Pertanyaan dalam benakku buyar setelah Livia mengawali pembicaraan.
“ Kamu kenapa Van? Kok beberapa hari ini aku tidak melihatmu di sekolah?” tanya Livia lembut.
“ Bagaimana kamu mau melihatku Liv, jika yang kamu lihat hanya Rara dan teman-teman barumu?” jawabku datar.
“ Kamu marah sama aku Van?” tanya Livia perlahan.
“ Ku marah pada diriku sendiri Liv, aku lagi pusing Liv, dan aku lagi pengen sendiri, jadi aku lebih banyak menyendiri akhir-akhir ini.” Jawabku dengan tenang.
“ Aku sms dan telepon kamu tapi nggak ada jawaban. Aku coba hubungin Dimas juga sama. Aku pikir kalian itu cocok.” Gurau Livia untuk memecahkan ketegangan yamg ada. “ Coba aku lihat hp mu.” Livia mengambil hpku yang tergelatak di kasur.
Aku tak sadar bahwa nomor yang aku pakai untuk peran Dimas juga ada di hp itu. Karena kecerobohanku sendiri, aku membiarkan Livia mengetahui cerita karanganku.
“ Mmmm.....pantesan aja Van kamu nggak balas smsku, ternyata kamu belum buka smsnya.” Senyuman di wajah Livia hilang seketika saat ia membaca sms berikutnya dari sim yang berbeda. “ Lho Van kok smsku untuk Dimas masuk ke nomor kamu? Bagaimana bisa?” tanya Livia mulai curiga. Aku tak berani menjawab dan mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutku. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Sementara itu Livia membaca semua sms, dan bodohnya aku, ternyata sms Livia untuk Dimas belum aku hapus. Dan Livia mengetahui semuanya. Terbongkarlah cerita yang ku buat. Aku melihat betapa kecewanya Livia saat aku melirik ke arahnya.
“ Van, tolong jelasin apa maksud semui ini. Kenapa semua sms yang aku kirim untuk Dimas ada di hp mu? Atau jangan-jangan kamu itu Dimas? Dimas itu kamu?” tanya Livia mulai emosi.
Aku beranikan diri untuk menjawab pertanyaan Livia, “ iya Liv, Dimas itu memang aku, dan aku itu memang Dimas.” Jelasku dengan tegas.
“ Pantes aja ya Van, selama ini aku memintamu untuk mengajak Dimas main kamu tidak pernah mau, jadi ini sebabnya.” Tanya Livia emosi.
“ Iya Liv, kamu benar. Tapi ini semua terjadi karena kamu. Kamu yang membuat aku seperti ini.” Kataku terang-terangan
“ Maksud kamu apa Van? Kenapa gara-gara aku?” tanya Livia bingung.
“ Gara-gara kamu mengabaikanku, gara-gara kamu yang lebih peduli terhadap Rara, dan gara-gara kamu yang sudah tidak punya banyak waktu untukku. Kamu berubah Liv.” Jawabku kecewa.
“ Aku minta maaf jika aku mengabaikanmu, jika aku kurang peduli terhadapmu, jika aku tak punya banyak waktu lagi untukmu. Tapi cukup kuatkah alasan ini Van? Cukup kuatkah alasan ini, sehingga kamu tega membohongiku seperti ini? Kamu tega membohongiku sahabatmu sendiri?” tanya Livia lirih sambil menentaskan air mata.
“ Kamu masih nganggep aku sahabatmu Liv? Sahabat macam apa yang membuat sahabatnya sendiri merasa diabaikan, sahabat macam apa yang membuat sahabatnya cemburu dan sakit hati. Sahabat....” belum saja aku menyeleseikan kata-kataku Livia memotongnya.
“ Dan sahabat macam apa yang tega membohongi sahabatnya sendiri sekejam ini?” kata Livia cukup pedas terdengar di telingaku.
“ Ini semua karena kamu Liv, aku menyanyangimu, aku benar-benar menyayangimu, aku cemburu jika melihatmu dengan Rara. Aku sungguh merasa tak berharga di matamu.”
“Cemburu? Hhheehhhh,,,,” Livia menghela nafas. “ Rasa sayangmu itu sudah nggak wajar Van. Tapi aku belum bisa terima kejadian ini. Kamu sahabatku sendiri tega membohongiku. Tadinya aku ke sini ingin menjenguk dan meminta maaf padamu, ternyata malah seperti ini. Justru tamparan yang aku terima hari ini dari ceritamu Van, sungguh kamu dalang yang hebat.” Livia beranjak pergi. Kata-kata Livia sungguh menyakitkan. Aku merasa kisah cintaku berakhir, Livia benar-benar meninggalkanku. Atau ia hanya marah sebentar. Ataukah ini hanya mimpi? Mimpi buruk? Tidak ini terlihat nyata. Ini benar-benar terjadi.
Aku bingung aku harus bagaimana. Meminta maafpun sepertinya tak ada gunanya. Apa aku harus berlari mengejarnya dan berlutut meminta maaf? Sepertinya ia tak memaafkanku. Apa aku masih punya muka untuk nmenemui Livia. Aku benar-benar bingung. Rasanya aku ingin tidur panjang dan melepas segala lelah dan menepis semua beban yang ada dalam diriku.
Kenapa persahabatanku jadi seperti ini. Apa rasa sayang yang aku miliki untuk Livia salah? Kenapa rasa sayang ini justru menjadi masalah dalam persahabatan kami? Aku benar-benar kalut. Persahabatn yang aku bina sejak kecil dan beberapa tahun yang lalu hancur karena kesalahanku, tapi benarkah itu kesalahanku? Apa aku salah menyanyangi dan mencintai gadis yang begitu perhatian baik terhadapku? Entahlah.
Masih terngiang dalam ingatanku kebahagiaan di masa yang lalu. Masa dimana saat aku dan Livia menjadi sahabat yang kompak dan saling mengasihi. Masih terngiang kata-katanya yang akan menjadikanku satu-satunya sahabat yang ia sayangi. Masih terngiang kata-katanya bahwa akulah satu-satu sahabat terbaiknya.
Saat itu tanggal 23 September, hari ulang tahun Livia. Aku membuatkannya pesta kecil-kecilan. Ia terharu dengan usahaku. Ia menangis bahagia. Ia tersenyum memelukku. Dan saat itulah ia mengucapkan janjinya yang membuatku menangis karena terharu.
“ Aku janji Van, mulai saat ini, kamu adalah satu-satunya sahabat terbaikku dan sahabat yang aku sayangi. Keinginannku yang paling penting adalah persahabatan kita akan tetap terjaga sampai kita mati.” Kata Livia.
“ Amin...” jawabku bahagia.
Kenangan memang tinggal kenangan. Harapanku telah hilang. Kebahagianku mungkin memang sudah ditakdirkan cukup di sini. Kini aku benar-benar merasa sendiri. Sahabatku meninggalkanku. Aku harus bagaimana. Bagaimana aku menjalani hariku tanpa kehangatan Livia yang selama ini menjadi semangat hidupku. Entah apa yang dipikirkan Livia sekarang. Apa yang ada dalam benakknya tentang diriku. Mungkinkah ia membenciku. Mungkinkah ia akan menjauhi karena perasaanku yang salah ini. Memangnya salah perasaan ku ini? Ah aku sendiri tak dapat memahaminya.


















Catatan
Bagian yang menunjukkan percakapan batin tentang masa lalu adalah sebagai berikut.
1.      Percakapan masa lalu bagian satu
Sejak terjadi pertengkaran kecil antara aku dengan Livia, aku lebih banyak diam dan memilih menjalani hariku sebagai dengan Dimas. Karena Livia menceritakan apa yang terjadi antara dirinya denganku. Aku senang masih bisa dekat dengan Livia walau peranku sebagai Dimas. Di sisi lain aku kecewa dan sedih karena peranku sebagai diriku sendiri semakin jauh dengan Livia. Aku merindukan kebersamaanku dengan Livia seperti satu, dua, tiga, empat, bahkan bertahun-tahun yang lalu. Hanya ada aku dan Livia. Teringat saat itu, ketika kelas tiga SMP. Aku sakit, demamku tinggi, aku di rumah sendirian. Livia datang untuk merawatku. Sungguh aku mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari Livia yang tidak pernah aku dapatkan dari ayahku. Ia menyelimutiku, memelukku saat aku tidur. Menyuapi aku makan setelah aku bangun, dan membantuku minum obat.
“Cepat sembuh ya Van, biar kita bisa main lagi. Kalau kamu sakit nanti siapa yang akan nglindungi aku?” kata Livia menyemangatiku.
“Kan sekarang kamu pelindungku Liv.”jawabku Lirih.
“Iya kali ini aku pelindungmu tapi lain kali kamu ya yang jadi pelindungku.” Kata Livia dengan senyuman manisnya.
“Makasih ya Liv.” Ucapku terharu
“ Iya sama-sama, ya ini gunanya sahabat.” Livia tersenyum
Sungguh indah saat-saat itu. Aku berpikir, apa aku sakit saja agar Livia tak mengabaikannku lagi? Tapi apakah perhatian dan kepeduliuan Livia seindah dulu? Setulus dulu? Entahlah. Kini hanyalah rasa kecewa yang menghampiriku. Rasa rindu yang menggebu-gebu yang ada dalam hatiku. Ingin aku berlari ke rumah Livia dan meminta maaf. Ingin aku berlari ke rumah Livia dan bilang aku sangat merindukannya. Ah, tidak. pikiran itu aku tepis jauh-jauh dari benakku. Kalau sampai aku melakukan itu, sungguh kekalahan yang aku dapatkan. Rara akan tertawa melihat kekalahanku.
2.      Percakapan masa lalu bagian dua
Kenapa persahabatanku jadi seperti ini. Apa rasa sayang yang aku miliki untuk Livia salah? Kenapa rasa sayang ini justru menjadi masalah dalam persahabatan kami? Aku benar-benar kalut. Persahabatn yang aku bina sejak kecil dan beberapa tahun yang lalu hancur karena kesalahanku, tapi benarkah itu kesalahanku? Apa aku salah menyanyangi dan mencintai gadis yang begitu perhatian baik terhadapku? Entahlah.
Masih terngiang dalam ingatanku kebahagiaan di masa yang lalu. Masa dimana saat aku dan Livia menjadi sahabat yang kompak dan saling mengasihi. Masih terngiang kata-katanya yang akan menjadikanku satu-satunya sahabat yang ia sayangi. Masih terngiang kata-katanya bahwa akulah satu-satu sahabat terbaiknya.
Saat itu tanggal 23 September, hari ulang tahun Livia. Aku membuatkannya pesta kecil-kecilan. Ia terharu dengan usahaku. Ia menangis bahagia. Ia tersenyum memelukku. Dan saat itulah ia mengucapkan janjinya yang membuatku menangis karena terharu.
“ Aku janji Van, mulai saat ini, kamu adalah satu-satunya sahabat terbaikku dan sahabat yang aku sayangi. Keinginannku yang paling penting adalah persahabatan kita akan tetap terjaga sampai kita mati.” Kata Livia.
“ Amin...” jawabku bahagia.
Kenangan memang tinggal kenangan. Harapanku telah hilang. Kebahagianku mungkin memang sudah ditakdirkan cukup di sini. Kini aku benar-benar merasa sendiri. Sahabatku meninggalkanku. Aku harus bagaimana. Bagaimana aku menjalani hariku tanpa kehangatan Livia yang selama ini menjadi semangat hidupku. Entah apa yang dipikirkan Livia sekarang. Apa yang ada dalam benakknya tentang diriku. Mungkinkah ia membenciku. Mungkinkah ia akan menjauhi karena perasaanku yang salah ini. Memangnya salah perasaan ku ini? Ah aku sendiri tak dapat memahaminya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Diksi

TUGAS ANALILIS NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN

ANALISIS DIKSI PADA PUISI